Carly Rae Jepsen - Call Me Maybe

Kamis, 21 Maret 2013

Obyek Wisata Yang Ada di Rantau Kabupaten Tapin




Kabupaten Tapin dengan ibukota Rantau memiliki cukup banyak lokasi yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata, baik itu berupa Wisata Alam, Wisata Buatan, Wisata Religius, Wisata Sejarah/Wisata Budaya, dan Wisata Adat yang cukup potensial untuk dikembangkan.

WISATA ALAM
Goa Batu Hapu
Batu Hapu yang terletak di dekat pasar Binuang tepatnya di desa Batu Hapu Kecamatan Hatungun bisa ditempuh 43 Km dari Kota Rantau dan 154 km dari Kota Banjarmasin. Goa Batu Hapu dari pasar Binuang masuk sejauh 16 km dengan jalan yang sudah cukup baik, ditempuh dengan jalan santai sambil menikmati pemandangan kehidupan pedesaan dan nuansa alam pegunungan selama 30 menit, goa ini terletak dipegunungan sehingga yang mempunyai hobi tantangan panjat tebing disinilah nyalinya diuji, tetapi resiko ditanggung sendiri karena belum di asuransikan, masyarakat disekitar goa siap bermitra dengan waisatawan yang berkeinginan bermalam sambil menikmati makanan dan kehidupan masyarakat pedesaan.
Pintu masuk Goa Batu Hapu

Merupakan goa yang mempunyai panorama luar biasa yang mempunyai stalagnit dan stalagmit menghiasi dalam goa yang dapat menggugah kebesaran Allah SWT dalam ciptaanNya sebagai pelajaran pengetahuan alam, goa ini telah mendapatkan sentuhan perbaikan dan penataan, Pemerintah Daerah sehubungan kerusakan yang diakibatkan keserakahan oknum manusia yang hanya mengejar keuntungan ekonomi sesaat tanpa mensyukuri nikmat lainnya yang disediakan oleh alam.
Menurut legenda yang sampai sekarang menjadi mitos masyarakat setempat tentang asal usul terjadinya Goa Batu Hapu ini adalah Raden Penganten yang dikutuk oleh ibunya Diang Ingsun menjadi batu dan diantara pecahan kapalnya menjadi gunung dan goa yang ada sekarang ini. 

Goa Baramban
Goa Baramban terletak di Desa Miawa Kecamatan Piani 16 km dari Rantau. Obyek wisata ini terkenal hingga keluar daerah, lantaran cukup menarik yang merupakan pemandangan bukit kapur dengan batu gamping yang memutih.
Goa Beramban dengan pemandangan bukit kapur dengan batu gamping yang memutih

Goa Beramban merupakan goa terpanjang dan terbesar di Kalimantan Selatan yang terbagi menjadi tiga pecahan, yaitu Goa Kelelawar, Goa Air, dan Goa Atas.
Tiap-tiap goa bisa dijalani dengan memerlukan waktu kurang lebih satu jam dan harus membawa alat penerangan.
Dalam goa ini mengalir air, sehingga goa yang lebarnya mencapai 60 meter dengan tinggai 50 meter serta panjang mencapai 250 meter terkesan lebih indah dan sejuk, apalagi air jernih yang mengalir di dasar goa tersebut mengalir dengan lambat, sehingga lantunan merdu gemercik airnya terdengar beberapa meter dari mulut goa.
Salah satu Goa yaitu Goa Air, setengah lorongnya berisi air yang mencapai ketinggian 1,2 meter atau setinggi dada.

Peranginan Ratu
Terletak 12 km dari kota Rantau, tepatnya di Kecamatan Lok Paikat.
Peranginan Ratu adalah obyek wisata alam berupa danau yang dikelilingi pegunungan dengan aneka satwa jenis burung-burungan.
Peranginan Ratu dengan latar belakang matahari terbenam

Suasana sunset atau matahari tenggelam sangat indah dinikmati di tengah sungai ketika senja hari.

Rute Miawa-Loksado merupakan Tracking dan Panorama alam yang terletak di Kecamatan Piani, 18 km dari kota Rantau.

Gunung Hambukung yang penuh dengan panorama alamnya. Terletak di Kecamatan Piani, 20 km dari kota Rantau.

Gunung Lampinit yang penuh dengan panorama alamnya. Terletak di Kecamatan Bungur, 15 km dari kota Rantau.

 
WISATA BUATAN
Sirkuit Internasional Balipat
Sirkuit Internasional Balipat terletak di Kecamatan Binuang, 30 km dari kota Rantau.
Sirkuit Balipat

Merupakan sirkuit nomor dua terbesar di Indonesia setelah sirkuit Sentul Bogor.
Sirkuit Internasional Balipat Binuang memiliki 14 tikungan tajam yang sangat disukai oleh crosser nasional dan pencinta otomotif.
Salah satu tikungan tajam di Balipat

Secara rutin setiap tahunnya menjadi ajang lomba balap motor tingkat nasional dan internasional. Ini merupakan hiburan dan event wisata bagi masyarakat.
Ajang roadrace di Sirkuit Balipat

Pasar Binuang, merupakan pasar tradisional yang terletak di Binuang, 30 km dari kota Rantau.

Pusat Kesenian Tradisional Pandahan, merupakan pusat kerajinan dan kesenian tradisional, terdapat di Tapin Tengah, 14 km dari kota Rantau.

WISATA RELIGIUS
Makam Datu-Datu atau Ulama
Makam Datu atau Ulama telah di renovasi dan mendapatkan penambahan fasilitas sebagai upaya memfasilitasi peziarah yang merupakan salah satu budaya masyarakat yang bernuansa keagamaan, yang merupakan kekuatan pengembangan obyek wisata kabupaten Tapin sebagai wisata relegius. Pengembangan wisata ini sebagai upaya mengenal dan mengenang kembali sejarah, karena sebagai bangsa yang ingin maju tidak boleh melupakan sejarah perjuangan pendahulu kitakhususnya para Datu atau Ulama yang telah berjuang menyebarkan pengetahuan keagamaan dan kehidupan

Makam Datu Nuraya
Makam sebagai tujuan wisata ziarah antara lain makam Datu Nuraya yang merupakan makam panjang bahkan mungkin makam terpanjang di dunia (panjang makam kurang lebih 35 depa atau 60 meter dan lebar kurang lebih 4 depa atau 6 meter) dan haulannya (peringatan tahunan) adalah pada tanggal 14 Dzulhijjah. Makam ini terletak di Gunung Munggu Kerikil, Desa Tatakan, Kecamatan Tapin Selatan
Menurut riwayat, beliau bernama asli Abdul Rauf, seorang Habib yang berasal dari Syria yang datang pada hari raya menemui Datu Suban untuk menyerahkan kitab yang bernama Nyawa Alam yang di kemudian hari terkenal dengan nama Kitab Barencong.
Selesai menyerahkan Kitab tersebut beliau meninggal dunia dan dimakamkan di tempat dimana beliau meninggal tersebut.
Karena badan beliau tinggi dan besar, maka menguburkannya dibuat lubang yang panjang sesuai dengan ukuran panjang dan lebar badan beliau.
Makam Datu Nuraya

Banyak peziarah yang datang ke makam beliau. Tidak hanya penduduk lokal, tetapi banyak juga dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei, Arab Saudi, Syria, Inggris, India dan lain sebagainya. 

Makam Datu Suban
Datu Suban adalah seorang waliyullah yang memiliki Ilmu Hikmah dan menguasai Ma'rifat tingkat tinggi. Murid-muridnya berjumlah 12 orang. Tiap murid mempunyai tingkat Ilmu Kasyaf yang berbeda-beda, namun yang paling lengkap kajian ilmunya dan mendapat kehormatan untuk mewarisi Kitab Utama yang biasa disebut Kitab Barencong. Hanya murid beliau yang bernama Abdussamad Al-Palembangi atau dengan nama lain Datu Sanggul.
Makam Datu Suban

Dalam komplek makam tersebut terdapat makam beberapa murid utama beliau seperti Datu Karipis, Datu Diang Bulan, dan Datu Mayang Sari. Peziarah tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi tetapi banyak juga dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei, Arab Saudi, Syria, Inggris, India dan lain sebagainya. Haulannya dilaksanakan pada bulan Syawal setiap tahun

Makam Datu Sanggul
Selanjutnya adalah ziarah ke makam Datu Sanggul terletak di Desa Tatakan Kabupaten Tapin.
Papan nama makam Datu Sanggul

Makam Datu Sanggul

Ziarah ke makam Datu Sanggul

Riwayat Datu Sanggul
Datuk Sanggul berasal dari pulau Andalas ,sejarah mencatatnya bahwasanya beliau berasal dari kota Palembang yakni Sumatera Selatan, yang melakukan hijrah ke Kabupaten Tapin dengan membawa misi perkembangan agama Islam,hingga menetap di desa Tatakan kabupaten Tapin sampai beliau menghabiskan nafas terakhir dan disemayamkan di desa Tatakan Kabupaten Tapin.
Datu Sanggul

Semasa hidupnya, Datu Sanggul ke Tapin ( desa Muning Tatakan ) dalam rangka menuntut ilmu agama kepada Datu Suban, hal ini bukan berarti beliau belum memiliki ilmu agama, melainkan beliau sudah memiliki ilmu agama sudah cukup dan juga seorang Ulama. Dalam suatu mimpi ( ketika masih berada di Palembang ) didalam mimpinya bertemu dengan orang tua yang menasehati kalau anaknda Abdussamad mau mendapatkan ilmu sejati maka tuntutlah sekarang, dan orang itu berada didaerah Kalimantan Banjar tepatnya di kampung Muning pantai Munggu Tayuh Tiwadak Gumpa, di sana ada seorang tua (datu) yang bernama Suban (Datu Suban), atas petunjuk didalam mimpi itu Abdussamad berangkat menuju Kalimantan, yang sebelumnya mendapatkan izin dari orang tua kandung hingga sampailah beliau mendapatkan daerah yang dicari yaitu kampung Muning (Tatakan).
Setibanya di kampung Muning, beliau menemui Datu Suban dan menceritakan perihal akan mimpinya tersebut, dengan lapang dada seakan mengerti akan simbol rabbaniyahtul Ilm pada hallikwal waktu itu Datu Suban pun menerima dan mengerti akan maksud kedatangannya serta disambut serta sangat diharapkan oleh Datu Suban ibarat pepatah buku bertemu dengan ruas kemudian pasak bertemu dengan tiang. Atas pengamatan dan penilaian Datu Suban terhadap Datu Sanggul bahwasanya Datu Sanggul mempunyai sikap maupun watak yang berbeda dari murid-muridnya yang lain, sehingga Datuk Sanggul diberikan amanah untuk menjaga kitab oleh Datu Suban mengenai ilmu Ma'rifattullah.
Menurut catatan sejarah, aktifitas beliau sehari-hari yakni berburu rusa, katanya cara beliau berburu dengan cara menunggu ditempat yang sering dilalui oleh binatang buruan dan hasil dari berburunya didermakan ketetangga dan jiran sekitar rumah beliau.
Menurut mereka yang sefaham aliran dengan beliau ialah dengan ketaatan, ketawadhuan serta tingkat peribadatannya sampai mencapai martabat Abudah dan Badal. Metode pelaksanaan syariat keagamaannya di nilai sangat kuat seperti sholat Tahajjud terutama dibulan suci Ramadhan beliau selalu mengikat perut dan menguatkan ibadahnya untuk menunggu malam Lailatul Qadar, menurut kepercayaan orang Banjar pada malam ganjil dimulai pada 20 akhir Ramadhan beliau selalu menyanggul Lailatul Qadar, sehingga atas dasar tersebut masyarakat setempat digelari dengan sebutan Datu Sanggul.
Sementara keunikannya dari pola interaksi symbolic Datuk Sanggul, melalui Kitab Barencongnya pada manaqibnya penuh syair serta puisi dan pantun. Diceritakan oleh juri kunci pemakaman Julak Antung, dimana masyarakat sekitar memanggilnya, menurutnya melalui yang tercatat dalam sejarah yakni manaqib Datu Sanggul dengan riwayat Kitab Barencong yang diberikan Datu Suban kepada Datu Sanggul secara silsilah merupakan berasal dari Datu Nuraya yang maqamnya berada dekat pertahanan Datu Dulung ketika melawan Belanda dan benteng tersebut adalah benteng Munggu Tayuh digelari dengan Datu Nuraya karena datu tersebut datang ke kampung Muning bertepatan dengan hari raya selepas Datu Suban melaksanakan sholat Ied. Setelah berkenalan dan memperlihatkan sebuah kitab kepada Datu Suban tidak lama kemudian orang tersebut ambruk dan wafat pada hari raya itu juga. Mengenai riwayat Datu Nuraya tidak ada kejelasan dari mana beliau berasal dan apa tujuan beliau berada dikampung Muning Tatakan, namun menurut kabar yang berkembang di masyarakat ada yang mengatakan bahwa Datu Nuraya berasal dari Hadramaut tetapi ada pula yang mengatakan bahwa Datu Nuraya berasal dari pulau jawa, dengan gelar garandali, diceritakan garandali sebuah gelar yang luar biasa, namun ketawadhuan yang dimiliki Datu Nuraya membuat hidupnya lebih memilih merakyat, keutamaan garandali tak lain adalah seorang ulama yang selalu merakyat, halikwal dan keinginannya sudah bulat di tujukan hanya satu yakni kepada Allah SWT, sehingga setiap ibadah maupun di dalam memanfaatkan ilmunya,selalu merasa tak berdaya melainkan hanya dengan pertolongan Allah SWT, setiap kebaikan yang di anggapnya selalu hanya hadiah dari Allah.SWT, dengan seperti itu,menjadikan hati bahkan seluruh batang tubuhnya hanya sebagai persinggahan Allah.SWT saja dan ini tingkat ikhlash yang tertinggi ungkapnya.
Datu Nuraya, seorang figur garandali yang menempuh jalan gurur, jalan gurur yang selalu di kilati akan hal dan menurut kabar jalan ini tak mudah, dan konon beliau ini, dengan kain kebesarannya atau tapih dapat mengatur alam, yang tentunya atas izin Allah.SWT, seperti menurunkan hujan, mengatur petir, dan awan serta angin yang bertiup, sehingga setiap beliau berjalan di terik matahari awan selalu menaunginya, Sementara itu juga ada kabar yang menyebutkan bahwasanya beliau bernama Syekh Gede Jangkung, hal ini dilihat dari ukuran makam beliau yang panjangnya 63 meter. Kitab yang diberikan Datu Nuraya kepada Datu Suban berisi tuntunan hidup pada kehidupan lahir dan bathin untuk kehidupan didunia maupun dikehidupan akhirat serta rahasia alam dan rahasia rubbubiyah, serta menyangkut Rabbaniyatul Ilm dan Rabbaniyatul hukum.
Kembali ke Datu Sanggul bertemu dan menjalin persaudaraan dengan Datu Kelampaian, di ceritakan oleh masyarakat setempat, akan hallikhwal Datu Kelampaian Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari mengaji ke mekkah, beliau sudah melakukan ikatan lahir bathin dengan Datu Sanggul, yakni (beangkatan dangsanak) jika orang banjar mengartikan.
Ikatan saudara ini lebih di perluas dengan saling memberikan pengetahuan satu sama lainnya, dimana keingintahuan Datu Kelampaian pada isi kitab Datu Sanggul terpenuhi, sementara pesan Datu sanggul kepada datu kelampaian yakni , kalau adinda bulik ke banua yang sarincung kitab ini kaina ambil di Kampung Muning Tatakan dengan syarat harus membawa kain putih, sebab bila kitab ini bersatu lagi salah satu diantara kita akan kembali kepada Allah.SWT.
Ketika Datu Kelampaian pulang ke kampung halaman di Martapura setelah 30 tahun mengaji di Mekkah dan sempat mengajar di Masjidil Haram Mekkah pada bulan Ramadhan 1186 H atau bulan Desember 1772 M, usai Datu Kelampaian berkumpul dengan keluarga maka beliau teringat dengan Datu Sanggul sebagai saudara yang ada di kampung muning Tatakan dengan berencana akan melakukan silahturhami.
Sesampainya di kampung Muning beliau sampai pada gubuk yang sederhana apakah benar suadara Datu Sanggul telah pulang kerahmatullah, dan konon meninggalnya Datu Sanggul ditandai dengan hujan lebat selama tiga hari tiga malam berturut-turut,yang menandakan bahwa langit dan bumi merasa bersedih atas kepergiannya. 

Syekh Salman Al-Farisi
Makam Syekh Salman Al-Farisi terletak di desa Gadung Kecamatan Bakarangan, 7 km dari kota Rantau. Beliau seorang Ahli Pendidikan dan judga Ahli Falaqiah yang banyak membantu masyarakat dalam membuat kalender pertanian.
Semasa hidupnya beliau mengajarkan agama yaitu pelajaran Sifat 20 atau pelajaran Tauhid Al-Qur'an, Hadits dan Ilmu Fiqh lainnya. Syekh Salman Al-Farisi hidup antara tahun 1857-1920 dan merupakan cicit Datu Kalampaian Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Makam Syekh Salman Al-Farisi

Makam ini tidak pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah di Kalimantan, Jawa,dan Sumatera bahkan dari Malaysia dan Brunei Darussalam. Haulan Syekh Salman Al-Farisi dilaksanakan setiap tanggal 9 Dzulhijjah.
Sekitar 200 meter dari makam beliau terdapat makam anak cucu beliau yang juga sangat termashur yaitu H. Muhammad dan Wali H. Muhammad Noor atau Wali An-Noor

Masjid Banua Halat ( Masjid Al-Mukarramah)
Seperti Masjid yang lainnya, Masjid Keramat Banua Halat di Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan ini menawarkan sesuatu yang berbeda dari biasanya terlebih secara kultural pada aspek kepercayaan masyarakat sekitar, semenjak turun temurun masjid tersebut mempunyai sebuah karismatik sebagai ikon peninggalan sejarah perjuangan para tokoh agama di dalam mengembangkan misi agama Islam di daerah sekitar masjid.
Daerah itu sendiri dinamakan Banua Halat karena kampung tersebut dinilai sebagai pahalat atau pembatas antara warga yang beragama Islam dan penduduk yang masih menganut kepercayaan tertentu. Meski telah memeluk Islam, tradisi baayun tetap dipertahankan.


Masjid Banua Halat
Masjid tersebut diperkirakan didirikan pada masa Kerajaan Banjar tahun 1890 di bawah pimpinan Sultan Muda Abdurrahman. Pada tahun 1910 masjid itu dibakar penjajah Belanda, tetapi kemudian dibangun kembali dan baru selesai tahun 1914. Pada tahun 1993 masjid tua di Banua Halat itu ditetapkan sebagai cagar budaya.
"Masjid Banua Halat" ternyata memiliki magnet lain yang sangat kuat sebagai daya tarik wisata. Karena bagi sebagian orang, Masjid Banua Halat sebagai tujuan wisata religius di Kabupaten Tapin sekaligus simbol ke-istimewaan masyarakat Tapin. Salah satu warga setempat menyatakan, "kurang afdhol jika berziarah ke maqam-maqam di tapin jika tak mengunjungi masjid Keramat Banua Halat", itulah kepercayaan turun temurun nenek moyang mereka tentang masjid tersebut, terlebih lagi tutus, keturunan yang masih asli banua halat terdapat disitu, karena warga desa banua halat enggan pindah dari satu daerah ke daerah lain selain itu juga terdapat fenomena seperti makhluk halus dari bangsa Jin yang kerap mengunjungi masjid Banua Halat setiap bulan Maulid dengan berbaur dengan manusia dalam perayaan baayun anak dan selalu ada saja keistimewaan setiap tahun di masjid banua halat ini.

Prosesi Baayun Maulid

Sebelum mencapai puncak prosesi baayun maulid, setiap kampung sekitar masjid terlebih dahulu merayakan maulid secara serempak mulai pukul 08.00. Itu sebabnya, saat menyusuri permukiman tampak hampir setiap rumah dipenuhi warga yang membaca syair-syair maulid, doa, dan makan bersama.

Orang Tua Juga Ikut Memeriahkan Acara Baayun Maulid Ini

uasana perayaan maulid seperti itu tidak hanya tampak di Banua Halat. Warga suku Banjar yang mayoritas dari 3,2 juta penduduk Kalsel , hampir semuanya memperingati maulid.
"Tradisi ini tidak lagi dinamakan baayun anak, tetapi baayun maulid karena banyak orang dewasa yang ikut. Setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Enam tahun lalu pesertanya hanya 265 orang," kata Ketua Panitia Baayun Maulid Banua Halat. 

WISATA SEJARAH / WISATA BUDAYA
Situs Candi Laras
Candi Laras adalah situs candi berukuran kecil yang terdapat di Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan yang ditemukan pada lokasi yang dinamakan penduduk engan sebutan Tanah Tinggi yang terletak pada posisi koordinat 252',6" LS dan 114 56'0,7" BT. Pada situs candi ini ditemukan potongan-potongan arca Batara Guru memegang cupu, lembu Nandini dan lingga. Semuanya disimpan di Museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Menurut riwayat, situs kerajaan Candi laras yaitu kerajaan Hindu Syiwa dengan rajanya yang bernama Raden Panji Sari Kaburangan.
Situs tersebut sudah banyak yang hilang karena terkubur lumpur akibat banjir dan sebagian lagi hilang dicuri.
Ditempat ini sering orang melakukan ritual secara pribadi untuk maksud tertentu khususnya dalam bidang kanuragaan dan pesugihan.
Letak candi ini tidak berada pada lokasi yang strategis, sehingga diperkirakan candi ini didirikan untuk maksud-maksud tertentu dan diperkirakan merupakan candi kenegaraan. Di dalam daerah yang berdekatan dengan candi ini, yaitu di daerah aliran sungai Amas ditemukan pula sebuah arca Buddha Dipangkara dan tulisan beraksara Pallawa yang berkaitan dengan agama Buddha, berbunyi "siddha" (selengkapnya seharusnya berbunyi "jaya siddha yatra" artinya "perjalanan ziarah yang mendapat berkat"). Daerah sekitar situs candi Laras pada masa lampau merupakan wilayah Kerajaan Negara Daha, sehingga diperkirakan kerajaan ini menganut agama Syiwa-Buddha.
Secara fisik, bangunannya berupa sumur tua dan terdapat beberapa batang kayu ulin besar yang berumur ratusan tahun yang tertanam tidak jauh dari sumur tersebut. Lokasinya pun terletak di sebuah pematang yang dikelilingi persawahan warga sekitar. Selain itu, ada dua buah batu besar yang oleh warga sekitar disebut Batu Babi. Saat ini, benda sejarah tersebut disimpan di Museum Banjarbaru.
Situs purbakala Candi Laras ini diperkirakan dibangun pada 1300 Masehi oleh Jimutawahana, keturunan Dapunta Hyang dari kerajaan Sriwijaya. Jimutawahana inilah yang diperkirakan sebagai nenek moyang warga Tapin.
Kalau dilihat dari tahun berdirinya, sebenarnya Candi Laras lebih tua dari candi serupa yang ada di Amuntai yakni Candi Agung yang didirikan pada saat pemerintahan kerajaan Negara Dipa, 1350 Masehi.
Namun dari aspek pengelolaan aset sejarah, Candi Agung memiliki daya pesona yang menarik wisatawan ketimbang Candi Laras. Laiknya sebuah ladang yang tidak memiliki nilai historis, sehingga terlalu tendensius ketika situs purbakala Candi Laras ini dikatakan sebagai salah satu objek wisata sejarah di Kabupaten Tapin.

Pengrajin Anyaman Rotan dan Purun Margasari
Terletak di Kecamatan Candi Laras Selatan atau 30 km dari kota Rantau
Margasari adalah desa yang di huni masyarakat pengrajin anyaman rotan dan purun sejak ratusan yang lalu.

Saat ini hasil kerajinannya sudah memasuki pasar ekpor ke Eropa seperti Swedia dan Kanada.
Margasari juga terkenal dengan wisata sungainya dan abad ke-14 yang lalu merupakan gerbang bandar kerajaan Negara Dipa.

WISATA ADAT
Aruh Adat Bapalas Suku Dayak Bukit Piani
Upacara Bapalas atau lebih dikenal aruh oleh Suku Dayak dilakukan usai panen tiba. Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa sukur yang telah diberikan kepada sang pencipta alam semesta kepada petani di desa. Selain itu juga, upacara ini digelar sebagai acara tolak bala terhadap roh-roh jahat yang diyakini bisa mendatangkan bencana pada diri petani, tanaman petani dan desanya.
Upacara Bapalas yang dilakukan oleh Dayak Meratus yang ada di Desa Batung, Kecamatan Piani. Ritual upacaranya sendiri digelar sebagai aruh kecil yang dilangsung selama 7 hari 7 malam berturut-turut di Balai Desa Batung yang baru saja direhab.
Menurut keterangan Penghulu Adat Desa Batung, Uhil yang memimpin jalannya upacara adat ini mengatakan kalau dialah yang akan memimpin upacara adat ini. Seminggu sebelum pelaksanaan aruh ini warga Dayak yang tersebar di Kabupaten Tapin sudah diundang untuk menghadiri upacara ini.
Diantara undangan yang hadir terdapat warga Dayak Harakit, Pipitak Jaya, Belawaian dan Bagandah. “Hari pertama dari rangkaian upacara ini dilaksanakannya dilakukan pembuatan kalangkang mantit dan langgatan yang akan dipergunakan dalam prosesi upacara ini. Baru pada hari kedua dimulailan prosesi upacaranya hingga hari keenam. Seadngkan hari ketujuh disebut sebagai harri pamali di mana seluruh masyarakat desa melakukan pemantang pergi ke ladang, menyalakan api, juga tidak boleh ada satu orangpun warga desa yang meninggalkan desanya pada hari tersebut. Apabila hal ini dilanggar diyakini akan timbul bencana, kematian, atau tertular suatu penyakit yang akan diderita oleh warga di desa,” ujarnya.
Secara panjang lebar, Uhil menjelaskan prosesi upacara bapalas ini. Dimulai dari membuat kerangka langgatan yang akan dipergunakan sebagai persembahan kepada sang pencipta. Langgatan yang digantung di tengah-tengah arena dibuat terlebih dahulu rangkanya dari kayu. Baru pada keesokan harinya langgatan tadi diberi pakaian dari pucuk enau yang dibuat bermacam-macam hiasan untuk menutupi rangka langgatan hingga seluruh tubuhnya tertutup daun enau.
Langgatan ini terdiri dari dua tingkat, lantai pertama diisi dengan bakul atau disebut tumbu yang dianyam oleh orang yang ingin mempersembahkan padinya kepada Bhatara yang di atas. Warna tumbu ini beragam, ada yang berwarna kuning atau merah. “Pada upacara kali ini ada sebanyak 38 bakul yang akan dipersembanhkan dan disusun di lantai satu langgatan,” ujarnya.
Sedangkan di lantai kedua, diletakkan berbagai aneka kue khas Dayak seperti lamang, lakatan habang, hirang, putih, yang akan dipersembahkan pada orang-orang keramat. Langgatan yang dibuat, pada bagian atasnya terdiri dari panji atau kepala langgatan yang terdiri dari kain warna merah dan putih, sebagai pertanda menyembah kepada Tuhan. Kepala langgatan ini dibentuk menyilang dan mengarah ke atas sebagai tanda persembahan warga desa kepada sang pencipta.
Sementara itu, di tanah atau dibagian belakang balai didirikan kalangakang mantit yang dipergunakan sebagai persembahan dan awal dimulainya upacara bapalas ini. Tidak ketinggalan di 4 tiang yang ada di ruangan balai juga dibuat kalangkang mantit. Upacara bapalas kali ini dilaksanakan oleh penghulu adat, damang dan wakil penghulu sebanyak 11 orang yang akan memimpin upacara ini.
“Ada penghulu dan damang dari 5 desa yang hadir pada upacara kali ini, yakni dari Desa Harakit, Mancabung, Batung, Belawaian, dan Bagandah. Jumlahnya ada 11 orang balian yang akan memimpin upacara ini,” ujarnya.
Upacara bapalas di Balai Desa Batung ini dihadiri tak kurang dari 500 orang suka Dayak Tapin yang mendiami pengunungan Meratus. Mulai dari bayi umur 20 hari hingga orang dewasa berumur 80 tahun pun datang ke desa ini untuk mengikuti upacara bapalas ini. Semakin malam semakin ramai suasana balai. Upacara bapalas Dayak Tapin dihadiri oleh tua muda sebagai ungkapan rasa syukur, juga sebagai upacara tolak bala atau buang randu, buang jahat yang diyakini mereka. Upacara dipimpin oleh Penghulu Adat dalam 5 hari aruh berlangsung.
Menurut penghulu Adat, Uhil rangkaian upacara aruh Adat Tapin ini dimulai dari malam pertama membuat kalangakang mantit, yakni 11 orang balian yang dilengkapi dengan kostum memakai kain, tapih, lahung, dan gelang hiang di tangan. Kesebelas balian yang sudah berpakaian lengkap ini turun ke tanah dan berdiri di kalangkang mantit di mana penghulu membacakan mantra-mantra, setelah itu dihamburkan baras kuning sebagai tanda di mulainya upacara babalian ini.
Selanjutnya, bapincuk, di mana balian semuanya naik ke dalam balai dan membuka lawang dewata dilanjutkan dengan bapanaikan. Rangkaian keenam adalah menggantung tali rimbunan yang diikat dengan rotan di langgatan. Mawagang tatak keberikutnya, yakni tali pengikat yang terbuat dari rotan dipotong oleh balian.
Selama upacara berlangsung, kesebelas balian ini didampingi oleh pinjulang yang bertindak sebagai juru bicara perwakilan dari masyarakat. Pinjulang ini harus orang terdekat dari balian, bisa saja isterti balian, atau saudara maupun saudara dekatnya. Pada prosesi bakaribut kawalu, balian memutar langgatan sesuai dengan arah mata angin agar angin jahat yang akan datang ke desa ini tidak jadi datang ke kampung. “Angin jahat ini bisa membuat warga sakit, bahkan meninggal dunia. Prosesi ini diperlambangkan agar seluruh warga di kampung akan selamat semuanya. Mungkin kalau orang bilang bagian ini disebut sebagai penolak bala,” jelasnya.
Sebelum upacara di hari kedua berakhir, diadakan upacara mangarungan yakni mengobati atau menambai orang sakit yang dilakukan oleh balian. Pada saat upacara berlangsung, masing-masing balian mengobati pasiennya. Ada pasien yang sakit kakinya dan ada juga yang sakit menyamak langsung diobati dengan mantra-mantra yang diyakini bisa menyembuhkan orang yang sakit.
Selanjutnya dilakukan bahantu, yakni membaca mantra dalam bahasa dayak yang diyakini agar desa ini terhindar dari penyakit yang akan menimpa desa ini. Baik itu penyakit yang datang dari laut, darat, agar tidak masuk ke kampung dan dikasi wadai supaya hantu jahat tidak datang ke kampung dan mendatangkan penyakit bagi mereka.
Sebeagai prosesi terakhir dari upacara balian malam kedua ini dilangsungkan ajang badangsai, di mana tua, muda, dan anak-anak turun ke tengah langgatan untuk bedangsai atau batandik, menari dengan kaki dan tangan dihentakkan ke lantai diiringi suara serunai dan babun.
Untuk laki-laki, bedangsainya dilakukan sesama laki-laki dengan irama yang rancak, sedangkan untuk perempuan dengan irama yang agak lamban. Para perempuan yang turun bedangsai mengenakan sarung dan menari dengan gerakan lemah gemulai. Semakin malam beranjak turun, semakin ramai orang yang turun bedangsai. Bedangsai ini usai ketika ayam berkokok dan seluruh warga pun serentak berhenti dan kembali ke rumah masing-masing. Namun yang rumahnya jauh, memilih tidur di balai yang memiliki kamar yang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar