Kabupaten Barito Kuala dengan ibukota Marabahan memiliki cukup banyak lokasi yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata, baik itu berupa Wisata Alam, Wisata Buatan, Wisata Religius, Wisata Sejarah/Wisata Budaya, dan Wisata Adat yang cukup potensial untuk dikembangkan.
WISATA ALAM
Pulau Kaget
Pulau Kaget adalah sebuah delta yang terletak di tengah-tengah sungai Barito termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Tabunganen, Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Pulau Kaget terletak dekat muara sungai Barito.Waktu tempuh menuju lokasi yaitu ± 15 menit dengan memakai speed boat dari Kota Banjarmasin, atau ± 1,5 jam dengan menggunakan kelotok.
Pulau Kaget
Panorama Pulau Kaget
Pulau Kaget merupakan habitat bagi Monyet Besar Berhidung Panjang atau oleh
penduduk setempat disebut dengan Kera Belanda / Bekantan karena hidungnya
panjang, mukanya merah serta perutnya yang gendut. dan beberapa jenis burung.
Kawasan pulau Kaget juga merupakan salah satu obyek wisata yang berada di dalam
kawasan hutan di Kabupaten Barito Kuala.
Moyet besar berhidung panjang (Bekantan)
Pulau cagar alam yang terletak di tengah muara Sungai Barito, dekat pantai
Laut Jawa, dihuni Bekantan (kera berhidung panjang dan berperut buncit). Satwa
ini sebagai maskot Kalimantan Selatan, hidup liar dan pemalu, biasa mudah
dilihat/ditemui saat pagi hari atau sore hari.
Bekantan yang mempunyai hidung panjang dan lebar
Begituklotok (perahu bermesin) yang membawa rombongan mendekati Pulau Kaget,
mereka "disambut" puluhan bahkan ratusan penghuni pulau itu dengan
bunyi "nguuuk....nguuuuk, nguuuuuuk...," dan satwa langka itu pun
lalu berlompatan kegirangan dari satu pohon ke pohon yang lain. Mungkin
maksudnya ucapan selamat datang bagi para tamu.
Sapaan Khas Bekantan
Kaget "disapa" satwa berhidung mancung terhadap siapa saja yang
mendekati habitat bekantan (Nasalis larvatus) itulah, pulau seluas 85 hektar
itu dinamai Pulau Kaget. Dan Menteri Pertanian selanjutnya memberi status
sebagai Cagar Alam Pulau Kaget (CAPK) sejak tahun 1976 guna melindungi warik
(monyet Belanda-sebutan populer masyarakat setempat terhadap bekantan) beserta
habitatnya.
Agropolitan Terantang
Sesuai potensi yang dimiliki, arah pembangunan Kabupaten Barito Kuala (Batola), tak lepas dari pengembangan sektor pertanian, tanpa mengesampingkan sektor pendukung, yaitu pendidikan, kesehatan,perkebunan, kehutanan, peternakan dan sektor lainnya.
Sesuai potensi yang dimiliki, arah pembangunan Kabupaten Barito Kuala (Batola), tak lepas dari pengembangan sektor pertanian, tanpa mengesampingkan sektor pendukung, yaitu pendidikan, kesehatan,perkebunan, kehutanan, peternakan dan sektor lainnya.
Batola memang tak memiliki kekayaan
berupa pertambangan. Kekuatan perekonomian warganya, justru bertumpu pada hasil
pertanian.
Kawasan agropolitan dipusatkan di daerah pengairan Terantang dan Belawang, diikuti pengembangan beberapa sentra produksi.
Kawasan agropolitan dipusatkan di daerah pengairan Terantang dan Belawang, diikuti pengembangan beberapa sentra produksi.
Kawasan sentra produksi jeruk dan
holtikultura berbasis padi, dipusatkan di Kecamatan Belawang, Barambai, Cerbon,
Mandastana, Jejangkit dan Marabahan. Sedangkan kawasan pengembangan sapi potong
dan kambing berbasis padi dan palawija, di kerahkan di Kecamatan Wanaraya dan
Barambai. Selain itu ditetapkan pula kawasan sentra kelapa rakyat di Kecamatan
Tamban, Mekarsari dan Alalak.
Berikutnya, sentra perikanan dan kelautan di Kecamatan Tabunganen.
Di sektor perikanan dan kelautan, Batola berhasil membudidayakan udang galah sebagai komoditas unggulan.
Berikutnya, sentra perikanan dan kelautan di Kecamatan Tabunganen.
Di sektor perikanan dan kelautan, Batola berhasil membudidayakan udang galah sebagai komoditas unggulan.
Agro Sungai Kambat
Pemkab Batola menjadikan kawasan Wisata Agro Sungai Kambat di Desa Sungai Kambat, Kecamatan Cerbon sebagai pusat wisata agro di Kalsel. Salah satu alasannya, di Sungai Kambat terdapat Balai Kasa (balai benih induk) tanaman hortikultura.
Pemkab Batola menjadikan kawasan Wisata Agro Sungai Kambat di Desa Sungai Kambat, Kecamatan Cerbon sebagai pusat wisata agro di Kalsel. Salah satu alasannya, di Sungai Kambat terdapat Balai Kasa (balai benih induk) tanaman hortikultura.
Dengan pembangunan sarana dan
prasarana wisata agro, Aflus berharap banyak turis mancanegara dan turis lokal
datang ke kawasan Wisata Agro Sungai Kambat. Dengan demikian, harga bibit dan
buah yang dapat dipetik langsung dikebun oleh turis makin mahal. Selain itu,
pemda juga akan membantu pemasaran hasil bibit dan buah-buahan yang ada.
Masyarakat juga dapat menikmati buah jeruk "Siam Banjar" yang rasa sudah terkenal manis sambil menikmati ikan bakar atau goreng yang segar.
Pulau KembangMasyarakat juga dapat menikmati buah jeruk "Siam Banjar" yang rasa sudah terkenal manis sambil menikmati ikan bakar atau goreng yang segar.
"Pulau Kembang" adalah sebuah delta yang terletak di tengah sungai Barito yang termasuk di dalam wilayah administratif kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, provinsi Kalimantan Selatan. Pulau Kembang terletak di sebelah barat Kota Banjarmasin. Jarak ± 2 km dari Kota Banjarmasin dapat ditempuh selama ± 10 -15 menit dengan menggunakan klotok.
Pulau Kembang
Pulau Kembang ditetapkan sebagai hutan wisata berdasarkan SK. Menteri
Pertanian No. 788/Kptsum12/1976 dengan luas 60 Ha.Hutan wisata yang terletak di
tengah Sungai Barito yang dihuni ratusan kera jinak berbuntut panjang.
Kera di Pulau Kembang
Pulau Kembang merupakan habitat bagi kera ekor panjang (monyet) dan beberapa
jenis burung. Kawasan pulau Kembang juga merupakan salah satu obyek wisata yang
berada di dalam kawasan hutan di Kabupaten Barito Kuala.
Kera berekor panjang sedang menyantap pisang
Asal Mula Pulau Kembang
Selain pengunjung yang ingin melihat warik-warik, ada pula pengunjung yang sengaja ke Pulau Kambang karena mempunyai niat atau nazar tertentu. Di pulau ini terdapat altar yang digunakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu sebagai tempat meletakkan kambang untuk dipersembahkan kepada “penjaga” Pulau Kambang. Altar tersebut dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih. Jika permohonan mereka dikabulkan, biasanya mereka melepaskan seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas sebagai tanda atau ucapan terima kasih kepada “penjaga” Pulau Kambang. Kenapa Pulau Kambang dijadikan sebagai tempat berziarah? Lalu, bagaimana dengan keberadaan warik-warik tersebut? Ternyata, Pulau Kambang sebagai tempat berziarah dan keberadaan warik-warik tersebut memang memiliki cerita tersendiri di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan, yang dikenal dengan cerita Pulau Kambang.
Selain pengunjung yang ingin melihat warik-warik, ada pula pengunjung yang sengaja ke Pulau Kambang karena mempunyai niat atau nazar tertentu. Di pulau ini terdapat altar yang digunakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu sebagai tempat meletakkan kambang untuk dipersembahkan kepada “penjaga” Pulau Kambang. Altar tersebut dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih. Jika permohonan mereka dikabulkan, biasanya mereka melepaskan seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas sebagai tanda atau ucapan terima kasih kepada “penjaga” Pulau Kambang. Kenapa Pulau Kambang dijadikan sebagai tempat berziarah? Lalu, bagaimana dengan keberadaan warik-warik tersebut? Ternyata, Pulau Kambang sebagai tempat berziarah dan keberadaan warik-warik tersebut memang memiliki cerita tersendiri di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan, yang dikenal dengan cerita Pulau Kambang.
Konon, pada zaman dahulu kala, di
Muara Sungai Barito berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kuin.
Letaknya yang strategis menjadikan kerajaan tersebut sangat ramai dikunjungi
oleh pedagang dari berbagai negeri. Selain letaknya yang strategis, kerajaan
ini mempunyai seorang patih yang sangat sakti, berani dan gagah perkasa.
Namanya Datu Pujung. Ia merupakan andalan dan benteng pertahanan Kerajaan Kuin
untuk menghalau segala ancaman yang datang dari luar.
Suatu hari, sebuah jung besar
berasal dari negeri Cina berlabuh di Sungai Barito. Meskipun di dalam jung itu
terlihat kesibukan yang luar biasa, tidak seorang penduduk negeri yang
mengetahui apa sebenarnya yang mereka kerjakan dalam jung itu. Penduduk negeri
juga tidak tahu maksud kedatangan mereka. Layaknya tamu, semestinya mereka
mengirim utusan menghadap kepada penguasa negeri. Lama ditunggu, tak seorang
pun yang keluar dari jung itu untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.
Sikap yang demikian itu membuat penguasa negeri menjadi lebih berhati-hati.
Seluruh pengawal pelabuhan dipersiapkan untuk berjaga-jaga menghadapi segala
kemungkinan.
Keesokan harinya, sebuah perahu yang
sarat serdadu berseragam dan bersenjata lengkap merapat di tepian sungai.
Seorang di antaranya melompat ke darat sambil menambatkan seutas tali di kayu
ulin yang sengaja dijadikan titian. “Wahai, anak negeri! Sebelum pertumpahan
darah terjadi, kalian semua disarankan untuk menyerah. Jika tidak, negeri ini
akan kami musnahkan. Siapapun yang berani melawan akan kami bunuh, dan yang
tidak melawan kami jadikan sebagai budak tawanan!” ujar seorang utusan. Datu
Pujung menjawab ancaman itu dengan kata-kata yang halus, “Musuh bagi kami tidak
dicari. Bila datang, pantang bagi kami untuk menghindarinya.” Lalu, Datu Pujung
balik bertanya, “Apakah kalian mampu mengalahkan kami?” Ucapan Datu Pujung
membuat utusan itu geram. “Hai, orang tua! Berani sekali kamu berkata begitu.
Apakah kamu minta bukti keperkasaan kami?” balas utusan itu. “Ya, begitulah,”
jawab Datu Pujung dengan penuh wibawa.
“Hai, prajurit! Kepung dan tangkap
mereka!” perintah sang Kepala Utusan. Namun, sebelum serdadu-serdadu tersebut
bergerak, Datu Pujung melompat ke arah sang Kepala Utusan dan menorehkan
sebilah pisau ke leher orang yang mengancam tadi. “Tidak bijaksana. Sama sekali
tidak bijaksana. Sama dengan tidak bijaksananya pisauku ini. Ia akan menoreh
dan membuat lehermu berlubang bila anak buahmu meneruskan langkahnya,” gertak
Datu Pujung sambil menggores-goreskan pisaunya di leher sang Kepala Utusan.
Melihat keselamatan pemimpinnya
terancam, para serdadu mengurungkan niatnya. Mereka tidak berani bergerak
sedikit pun. Datu Pujung mundur selangkah. Sambil berbalik ia menawarkan sebuah
taruhan. “Hai, Kepala Utusan! Di antara kita tidak perlu ada pertumpahan darah
jika tawaranku ini kamu terima secara kesatria!” ujar Datu Pujung.
“Apa itu?” balas si Kepala Utusan
penasaran. “Tariklah pohon ulin yang kalian jadikan titian itu sampai ke sini.
Dengan senjata yang kalian miliki, penggal pohon itu menjadi dua potong. Jika
kalian sanggup melakukannya, seluruh daerah ini akan menjadi milik kalian. Tapi
sebaliknya, jika tidak mampu, dengan penuh hormat kami persilahkan kalian
meninggalkan daerah ini sebelum kami berubah pikiran,” ancam Datu Pujung sambil
menunjuk tebangan pohon ulin sebesar drum yang panjangnya tidak kurang dari sembilan
depa.
“Tawaranmu kami terima, orang tua!”
sambut Kepala Utusan dengan jumawa. “Kalau begitu. Bersiaplah untuk menarik
kayu ulin itu,” ujar Datu Pujung. Mendengar ujaran itu, si Kepala Utusan
terdiam. Sepertinya ia mulai ragu pada kemampuannya. Bagaimana mungkin ia bisa
mengangkat kayu sebesar drum dan panjang itu. Datu Pujung sudah tidak sabar
menunggu si Kepala Utusan melaksanakan kesanggupannya. “Tunggu apalagi, Kepala
Utusan?” desak Datu Pujung. Perlahan-lahan si Kepala Utusan mencoba untuk mengangkat
pohon ulin itu, namun tidak bergerak sedikit pun. Melihat ketidakmampuan
komandannya, seluruh anggota pasukan ikut membantu menarik tebangan pohon ulin.
Tapi, usaha mereka tetap saja sia-sia. Jangankan pohon ulin itu bergeser,
bergerak pun tidak. Kemudian senjata mereka mereka tebaskan ke batang tersebut,
tetapi jangankan pohon itu terbelah, tebasan mereka membekas pun tidak padanya.
Datu Pujung hanya tersenyum melihat
tingkah mereka. Sambil mengawasi gerak-gerik lawannya, ia pun segera mendekati
pohon itu. Dengan sebelah tangannya, ia menarik kayu ulin itu. Sebilah parang
bungkulnya yang terhunus kemudian menebas kayu ulin itu hingga terpotong
menjadi dua. Salah satu potongan sengaja ia lemparkan ke arah seluruh pasukan
tersebut. Mereka pun lari terbirit-birit ke arah perahu. “Tunggu pembalasan
kami sebentar lagi!” ujar mereka mengumbar ancaman. Perahu mereka dayung dengan
sekuat tenaga menuju ke jung di tengah sungai.
Datu Pujung tidak menghiraukan
ancaman itu. Dengan potongan kayu ulin yang lain, Datu Pujung meluncur ke
sungai mengejar mereka. Dalam kejar-kejaran tersebut, Datu Pujung berhasil
mendahului mereka tiba di atas jung. Pasukan naik di bagian depan jung,
sedangkan Datu Pujung naik di buritan. “Kalian semua memang tidak bisa diberi
hati!”, seru Datu Pujung penuh amarah. Ia mengambil pisau kecil dari balik
bajunya, lalu mencungkil lambung jung itu. Dalam sekejap, air pun menggenangi
jung. Sebuah hentakan kaki Datu Pujung membuat perahu bocor. Air memenuhi
seluruh jung hingga tenggelam. Seluruh pasukan dan isi jung pun ikut tenggelam.
Sejak itu, endapan lumpur dan
batang-batang kayu yang hanyut di Sungai Barito selanjutnya menimbun jung itu
hingga membentuk delta atau pulau.
Asal Mula Warik (kera) di Pulau
Kembang
Bagaimana pula dengan Warik (kera) yang banyak di pulau kambang itu? Ternyata memang memiliki cerita tersendiri dan menjadikan pulau ini memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Dalam ceriteranya disebutkan salah satu keturunan raja di daerah Kuin tidak dikaruniai anak. Menurut ramalan ahli nujum kalau ingin punya anak harus berkunjung ke Pulau Kambang dengan mengadakan upacara badudus (mandi-mandi). Ramalan dan nasihat ahli nujum ini dipenuhi oleh kerabat kerajaan. Beberapa waktu setelah mengadakan upacara di Pulau Kambang itu, ternyata isteri dari keturunan raja dimaksud hamil. Begitu gembira dan bahagianya keluarga raja dengan kehadiran anak yang dinanti-nantikan, maka raja yang berkuasa memerintahkan petugas kerajaan untuk menjaga pulau tersebut agar tidak ada yang merusak atau mengganggunya.
Bagaimana pula dengan Warik (kera) yang banyak di pulau kambang itu? Ternyata memang memiliki cerita tersendiri dan menjadikan pulau ini memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Dalam ceriteranya disebutkan salah satu keturunan raja di daerah Kuin tidak dikaruniai anak. Menurut ramalan ahli nujum kalau ingin punya anak harus berkunjung ke Pulau Kambang dengan mengadakan upacara badudus (mandi-mandi). Ramalan dan nasihat ahli nujum ini dipenuhi oleh kerabat kerajaan. Beberapa waktu setelah mengadakan upacara di Pulau Kambang itu, ternyata isteri dari keturunan raja dimaksud hamil. Begitu gembira dan bahagianya keluarga raja dengan kehadiran anak yang dinanti-nantikan, maka raja yang berkuasa memerintahkan petugas kerajaan untuk menjaga pulau tersebut agar tidak ada yang merusak atau mengganggunya.
Petugas kerajaan yang mendapat
perintah menjaga pulau ini membawa dua ekor warik besar, jantan dan betina yang
diberi nama si Anggur. Konon menurut ceritanya setelah sekian lama petugas
kerajaan ini menghilang secara gaib, tak diketahui kemana perginya. Sedangkan
warik yang ditinggalkannya beranak pinak dan menjadi penghuni pulau kambang.
Para orang tua dahulu ketika mengunjungi pulang kambang masih bisa melihat si
Anggur yang memang berbeda dari warik biasa.
Keberadaan warik-warik ini telah
menjadikan pulau kambang semakin menarik untuk dikunjungi. Berdasarkan hasil
pengamatan yang pernah dilakukan oleh mereka yang perhatian terhadap keberadaan
warik di pulau kambang ini diketahui ada dua kumpulan kera yang keluar dari
persembunyiannya secara bergantian. Rombongan warik pertama yang keluar sekitar
pukul 05.00 s.d. l3.00 dan setelah itu disambung oleh kumpulan warik sip kedua
yang berada di tengah pengunjung pulau kambang. Kalau rombongan sip pertama
tidak menaati ketentuan dengan pengertian melewati batas waktu operasional,
maka ia akan diburu oleh rombongan warik lainnya. Tepatnya waktu itu mungkin
hanya sesama warik yang tahu.
Begitulah asal muasal pulau Kambang
beserta warik penghuninya. Tentang kebenarannya terpulang kepada Yang Maha Esa.
Bahwa Pulau Kambang dan warik itu memang nyata dikelilingi sungai sekitarnya,
tak perlu mempersoalkan keberadaannya. Tapi jangan lupa mengunjungi sebagai
tempat wisata.
WISATA BUATAN
Jembatan Barito
Adalah obyek wisata yang jaraknya ± 15 km dari Kota Banjarmasin dapat dicapai dengan jalan darat ataupun sungai. Waktu tempuh ± 45 menit dengan menggunakan transportasi air (perahu kelotok) dari Pelabuhan Kuin menuju kearah hulu melintasi ujung Pulau Kembang, Pasar Terapung, Pulau Alalak, dan Pulau Muara Anjir.
Adalah obyek wisata yang jaraknya ± 15 km dari Kota Banjarmasin dapat dicapai dengan jalan darat ataupun sungai. Waktu tempuh ± 45 menit dengan menggunakan transportasi air (perahu kelotok) dari Pelabuhan Kuin menuju kearah hulu melintasi ujung Pulau Kembang, Pasar Terapung, Pulau Alalak, dan Pulau Muara Anjir.
Jembatan
Barito di lihat dari depan
Jembatan
Barito di lihat dari sebelah kanan
Jembatan
Barito di lihat dari sebelah kiri
Jembatan Rumpiang
Jembatan Rumpiang adalah jembatan yamg membentang di atas sungai Barito, kota Marabahan, kabupaten Barito Kuala. Jembatan ini diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 April 2008. Dengan hadirnya jembatan tersebut akan memperlancar arus lalu lintas dari Kota Marabahan menuju Banjarmasin dan sebaliknya yang sebelumnya harus menggunakan kapal feri untuk menyeberangi Sungai Barito.
Jembatan Rumpiang adalah jembatan yamg membentang di atas sungai Barito, kota Marabahan, kabupaten Barito Kuala. Jembatan ini diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 April 2008. Dengan hadirnya jembatan tersebut akan memperlancar arus lalu lintas dari Kota Marabahan menuju Banjarmasin dan sebaliknya yang sebelumnya harus menggunakan kapal feri untuk menyeberangi Sungai Barito.
Jembatan
Rumpiang
Panorama
Jembatan Rumpiang
Jembatan Rumpiang sendiri memiliki
total panjang bentang 753 meter dengan bentang utama sepanjang 200 meter
menggunakan konstruksi pelengkung rangka baja. Pembangunan Jembatan Rumpiang
dimulai sejak akhir tahun 2003, menggunakan dana baik dari APBN maupun APBD
Kabupaten Barito Kuala dan Pemprov Kalimantan Selatan sebesar Rp174,5 miliar.
Vihara Cina Pulau Kembang
Di dalam kawasan hutan wisata ini terdapat altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji bagi " penjaga" pulau Kembang yang dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih (Hanoman), oleh masyarakat dari etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu dan juga sebagai salah satu tempat ziarah orang Tionghoa. Seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas biasanya dilepaskan ke dalam hutan pulau Kembang apabila sebuah permohonan berhasil atau terkabul.
Di dalam kawasan hutan wisata ini terdapat altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji bagi " penjaga" pulau Kembang yang dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih (Hanoman), oleh masyarakat dari etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu dan juga sebagai salah satu tempat ziarah orang Tionghoa. Seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas biasanya dilepaskan ke dalam hutan pulau Kembang apabila sebuah permohonan berhasil atau terkabul.
Dua buah
arca berwujud kera berwarna putih (Hanoman)
Di pulau ini terdapat sebuah Vihara
Cina yang sudah sangat tua dan banyak dikunjungi keluarga Cina untuk beribadah.
Umumnya para pengunjung datang pada hari Minggu dan Vihara ini dijaga oleh
sekumpulan kera berekor panjang yang banyak mendapatkan makanan dari pengunjung
seperti kacang, pisang dan telur.
Vihara
Cina banyak dikunjungi keluarga Cina untuk beribadah
Cerita tentang tenggelamnya kapal
dengan para penumpangnya yang kebanyakan etnis Cina tersebut menyebar dari
mulut ke mulut dan waktu ke waktu. Sehingga mereka yang berasal dari keturunan
Cinapun banyak yang mengunjungi pulau tersebut untuk mengenang dan memberikan
penghormatan terhadap jasad yang berkubur di situ. Jadilah pulau ini sebagai
tempat penyampaian doa nadzar, terutama bagi mereka yang merasa memiliki ikatan
batin atas keberadaan pulau itu. Dahulu setiap orang yang berkunjung ke sana
membawa sejumlah untaian kambang (bunga), dan karena berlangsung sepanjang
waktu terjadilah tumpukan kambang yang sangat banyak. Mereka yang melintasi
pulau itu selalu melihat dan menyaksikan tumpukan kambang yang begitu banyak.
Oleh karena selalu menarik perhatian bagi mereka yang melintasi tempat ini dan
menjadi penanda, maka untuk menyebutnya diberi nama Pulau Kambang.
Lama kelamaan nama pulau kambang
semakin dikenal dan ramai dikunjungi orang dengan niat dan tujuan yang
berbeda-beda. Misalnya ada yang mengkeramatkannya atau sekadar ingin tahu
keberadaan pulau kambang yang telah melegenda itu. Sekarang pun masih ditemui
adanya kunjungan dari mereka yang punya hajat tertentu dan berbaur dengan para
pengunjung atau para wisatawan lainnya setelah mengunjungi pasar terapung.
WISATA RELIGIUS
Makam Syekh Abdussamad
Makam Syekh Abdussamad bin Mufti Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Kelampayan, dari pihak ibu, ibu beliau adalah orang Dayak Bekumpai asli yang dinikahi oleh anak syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang bernama Mufti Jamaluddin.
Makam Syekh Abdussamad bin Mufti Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Kelampayan, dari pihak ibu, ibu beliau adalah orang Dayak Bekumpai asli yang dinikahi oleh anak syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang bernama Mufti Jamaluddin.
Syekh Abdussamad inilah yang
berperan besar islamisasi Dayak Bakumpai.
Salah satu ulama keturunan Datu Kalampaian Syekh H Muhammad Abdusamad bin Al-Mufti H Jamaludin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Cucu Datu Kalampaian ini lebih banyak berjuang menyebarkan Islam di pesisir Sungai Barito.
Salah satu ulama keturunan Datu Kalampaian Syekh H Muhammad Abdusamad bin Al-Mufti H Jamaludin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Cucu Datu Kalampaian ini lebih banyak berjuang menyebarkan Islam di pesisir Sungai Barito.
H Muhammad Abdussamad, lahir 24
Zulkaidah 1237 hijriah atau 1822 masehi dari seorang ibu bernama Samayah binti
Sumandi di Kampung bakumpai atau Kampung Tengah Marabahan.
‘Buah jatuh tak jauh dari pohonnya’, begitu kira-kira pribahasa yang pantas bagi keturunan Syekh Arsyad Al-Banjari seperti Syakh Muhammad Abdussamad. Riwayat hidupnya pun hampir sama dengan kehidupan syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari seperti menuntut ilmu ke Mekkah.
Menginjak dewasa, Syekh Muhammad Abdusamad belajar ilmu agama dengan ayah yang juga terkenal sebagai sebagai ulama dan beberapa temannya di Martapura. Karena dianggap cukup mempelajari ilmu agama, Abdusasamad dipulangkan ke Bakumpai (Marabahan) untuk menyebarkan ilmu agama kepada masyarakat.
‘Buah jatuh tak jauh dari pohonnya’, begitu kira-kira pribahasa yang pantas bagi keturunan Syekh Arsyad Al-Banjari seperti Syakh Muhammad Abdussamad. Riwayat hidupnya pun hampir sama dengan kehidupan syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari seperti menuntut ilmu ke Mekkah.
Menginjak dewasa, Syekh Muhammad Abdusamad belajar ilmu agama dengan ayah yang juga terkenal sebagai sebagai ulama dan beberapa temannya di Martapura. Karena dianggap cukup mempelajari ilmu agama, Abdusasamad dipulangkan ke Bakumpai (Marabahan) untuk menyebarkan ilmu agama kepada masyarakat.
Tak lama setelah kembali ke kampung
halaman, Muhammad Abdusamad kawin dengan seorang wanita bernama Siti Adawiyah
binti Buris. Dari hasil perkawinan, dikarunia empat anak yaitu Zainal Abidin,
Abdul Razak, Abu Thalhah dan Siti Aisyah.
Seperti juga kekeknya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Muhammad Abdusamad haus akan ilmu agama. Karenanya selain mengajar ilmu agama, Muhammad Abdusamad berniaga untuk mengumulkan uang agar dapat menuntut ilmu ke Mekkah disertai anaknya Abdul Razak.
Seperti juga kekeknya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Muhammad Abdusamad haus akan ilmu agama. Karenanya selain mengajar ilmu agama, Muhammad Abdusamad berniaga untuk mengumulkan uang agar dapat menuntut ilmu ke Mekkah disertai anaknya Abdul Razak.
Syekh Abdulsamad belajar dan menimba
ilmu, baik syariat maupun hakikat seperti dengan guru Allamah Syekh Khatib
Sambas. Dalam ilmu hakekat, Muhammad Abdusamad belajar dengan Allamah Syekh
Sulaiman Al-Zuhdi An-Naqsyabandy dan belajar dengan Allamah Syekh Sulaiman bin
Muhammad Sumbawa.
Syekh Muhammad Abdusamad bermukim di
Mekkah hanya sekitar delapan tahun, karena guru-gurunya menyuruh untuk kembali
ke kampung halaman guna menyebarkan agama. Sebelum pulang, Syekh Muhammad
Abdusamad sempat diuji keponakan yang terlebih dulu menimba ilmu di Mekkah H
Jamaludin bin H Abdula Hamid Qusyasyi.
Karena ketinggian ilmu tarekatnya, Syekh Muhammad Abdusamad sempat hilang saat shalat. Atas ketinggian ilmu tarekatnya itu, keponakannya yang tadinya melarang untuk pulang ke kampung halaman, akhir mempersilakannya.
Karena ketinggian ilmu tarekatnya, Syekh Muhammad Abdusamad sempat hilang saat shalat. Atas ketinggian ilmu tarekatnya itu, keponakannya yang tadinya melarang untuk pulang ke kampung halaman, akhir mempersilakannya.
Sekembali di kampung halaman, Syekh
Muhammad Abdusamad mulai membuka pengajian dan ramai dikunjungi para penuntut
ilmu dari berbagai daerah. Untuk menampung para penuntut ilmu, Syekh Muhammad
Abdusamad membangun sebuah langgar di depan rumah dan membangun balai yang saat
ini menjadi kubah almarhum di marabahan.
Dalam kegiatan dakwahnya, Syekh
Muhammad Abdusamad selalu melalukan perjalanan ke pesisir Sungai Barito sampai
ke udik-udik anak sungai untuk mendakwahkan Islam. Tak heran, banyak suku Dayak
pedalaman yang memeluk agama Islam. Genap berusia 80 tahun, Syekh Muhammad
Abdusamad meninggal dunia tepat 13 Safar 1317 H.
Makam Datu Gusti Aminin
Gusti Aminin adalah Putera Suryanapati bin Jaya Diwangsa. Tidak diketahui secara pasti kapan beliau dilahirkan. Namun apabila dihitung tahun wafatnya sekitar 1745 masehi, maka saat meninggal diperkirakan usianya tidak kurang dari 100 tahun. Artinya, sekitar tahun 1645-an Gusti Aminin lahir.
Gusti Aminin adalah Putera Suryanapati bin Jaya Diwangsa. Tidak diketahui secara pasti kapan beliau dilahirkan. Namun apabila dihitung tahun wafatnya sekitar 1745 masehi, maka saat meninggal diperkirakan usianya tidak kurang dari 100 tahun. Artinya, sekitar tahun 1645-an Gusti Aminin lahir.
Bersama Datu Khayan dan Datu
Kapitan, Datu Aminin memimpin masyarakat Pulau Alalak dan Berangas menyerang
kapal-kapal Belanda. Sejumlah pertempuran di perairan Sungai Barito pun sudah
sering diikutinya. Beliau terkenal sakti, bahkan tembakan musuh tak bisa
bersarang di tubuhnya.
Dikisahkan, sekitar abad XVIII
terjadi pertempuran hebat di Muara Mantuil Banjarmasin. Karena persenjataan dan
kekuatan musuh lebih banyak, Datu Aminin memerintahkan mundur. Namun, karena
Datu Kapitan tidak mau mundur dan terus maju, Datu Kapitan pun akhirnya gugur.
Melihat Datu Kapitan tewas bersimbah
darah, Gusti Aminin mengamuk dengan mandau di tangan. Pihak musuh banyak yang
tewas akibat serangan Gusti Aminin yang membabi-buta tersebut. Sementara peluru
yang dimuntahkan Belanda, tak satu pun mampu menembus tubuhnya. Serangan Gusti
Aminin ini juga menewaskan seluruh isi kapal Belanda termasuk kapten kapal.
Namun, tidak lama setelah kejadian
itu, Gusti Aminin jatuh sakit. Sejumlah peluruh yang tidak berhasil menembus
tubuhnya ternyata membuat luka dalam. Gusti Aminin pun akhirnya menghembuskan
napas terakhirnya sekitar tahun 1745. Datu Aminin sendiri sebelumnya juga
dimakamkan di Desa Berangas. Namun pada tahun 1977, oleh cucu beliau bernama
Muhammad Yusuf dipindah ke Pulau Sugara. Usia Muhammad Yusuf sendiri saat
pemindahan makam tersebut dikabarkan sudah berusia 165 tahun.
Datuk Khayan - Pejuang Sekaligus
Ulama Alalak
Datuk Khayyan adalah bukan nama asli Syekh Abdurrahman Siddik. Nama itu digunakan untuk menghindari sweeping serdadu Belanda. Kemurkaan tentara Belanda terhadap Datuk Khayan, karena ulama besar Alalak ini merupakan sosok pejuang yang senang membela kebenaran.
Lelaki asal Banten ini dikisahkan pernah "madam" (merantau) ke sejumlah daerah. Kalbar, Kalteng, sampai menetap di Kecamatan Alalak, Kabupaten Batola.
Datuk Khayyan adalah bukan nama asli Syekh Abdurrahman Siddik. Nama itu digunakan untuk menghindari sweeping serdadu Belanda. Kemurkaan tentara Belanda terhadap Datuk Khayan, karena ulama besar Alalak ini merupakan sosok pejuang yang senang membela kebenaran.
Lelaki asal Banten ini dikisahkan pernah "madam" (merantau) ke sejumlah daerah. Kalbar, Kalteng, sampai menetap di Kecamatan Alalak, Kabupaten Batola.
Di Kalbar, Datuk Khayan diberi gelar
Sayid Abdurrahman Assegeaf Al Bukhayyan. Di kecamatan itulah (sekitar abad
ke-17, Red) tengah terjadi pertempuran pejuang pribumi dengan Belanda di
perairan Sungai Barito.
Datuk Khayan yang melihat perjuangan
rakyat, turut membantu. Dia tidak rela menyaksikan tentara Belanda menguasai
Sungai Barito. Karena keberaniannya melawan Belanda di perairan Sungai Barito
lah, Datuk Khayan mendapat gelar Darrun Khayyan. Menurut bahasa Dayak, Darrun
berarti Panglima. Sedangkan Khayyan adalah nama sub suku Dayak.
Selain berjuang, Datuk Khayan juga
dikenal sebagai ulama Tasauf yang mempunyai banyak murid. Datu Khayyan
mempunyai 3 istri. Isteri pertama bernama Zamrud asal Martapura. Dari
perkawinan dengan Zamrud, ia dikaruniai 5 anak. Sedang dari isteri kedua,
Syarifah Radiah asal Nagara HSS, Datuk Khayan dikaruniai 3 anak. Dari isteri
ketiga Siti Sajanah, belum didapat data berapa jumlah keturunan.
Pada 1850, Datuk Khayan meninggal
dunia dalam usia 150 tahun. Atau tepatnya 10 Rabiulawal, 153 tahun yang lalu.
Ia dimakamkan di kediaman Alalak yang belakangan ramai dikunjungi orang.
Bagus dan bermanfaatObat Ibu Hamil Dari Bahan Herbal
BalasHapusHerbal Pilihan Obat Ibu Hamil
Suplemen Obat Ibu Hamil
Obat Baru Untuk Ibu Hamil Yang Aman
Artikel Obat Ibu Hamil
Sejarah dan tempat wisata di marabahan,
BalasHapusUlun izin save fotonya bang lah
BalasHapus