Carly Rae Jepsen - Call Me Maybe

Kamis, 28 Maret 2013

Obyek Wisata Yang Ada Di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara



Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan ibukota Amuntai memiliki cukup banyak lokasi yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata, baik itu berupa Wisata Alam, Wisata Buatan, Wisata Religius, Wisata Sejarah/Wisata Budaya, dan Wisata Adat yang cukup potensial untuk dikembangkan.
Kota Amuntai, Ibukotanya Kabupaten Hulu Sungai Utara diapit dua sungai yaitu sungai Tabalong dan Balangan. Untuk wisata kota, wisatawan dapat mengunjungi Masjid Raya Amuntai, Pantai Amuntai atau melongok Taman Kota Junjung Buih, berkunjung ke Monumen Perjuangan/melihat Monumen Itik Alabio yang menghiasi kota.

WISATA SEJARAH / WISATA BUDAYA
Candi Agung
Candi Agung Amuntai yang menjadi salah satu obyek wisata paling favorit bagi masyarakat Amuntai. Obyek ini terletak di Desa Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah.
Pintu masuk Candi Agung

Candi Agung Amuntai merupakan peninggalan Kerajaan Negaradipa Khuripan yang dibangun oleh Empu Jatmika abad ke XIV Masehi. Dari kerajaan ini akhirnya melahirkan Kerajaan Daha di Negara dan Kerajaan Banjarmasin. Menurut cerita, Kerajaan Hindu Negaradipa berdiri tahun 1438 di persimpangan tiga aliran sungai. Tabalong, Balangan, dan Negara. Cikal bakal Kerajaan Banjar itu diperintah oleh Pangeran Surianata dan Putri Junjung Buih dengan kepala pemerintahan Patih Lambung Mangkurat. Negaradipa kemudian berkembang menjadi Kota Amuntai.
Candi Agung diperkirakan telah berusia 740 tahun. Bahan material Candi Agung ini didominasi oleh batu dan kayu. Kondisinya masih sangat kokoh. Di candi ini juga ditemukan beberapa benda peninggalan sejarah yang usianya kira-kira sekitar 200 tahun SM. Batu yang digunakan untuk mendirikan Candi ini pun masih terdapat disana. Batunya sekilas mirip sekali dengan batu bata merah. Namun bila disentuh terdapat perbedaannya, lebih berat dan lebih kuat dari bata merah biasa.

Lomba Renang Kerbau Rawa
Menyaksikan lomba renang unik yaitu lomba renang Kerbau Rawa yang menjadi atraksi yang menarik. Perlombaan kerbau rawa itu persis seperti perlombaan atau atraksi karapan sapi di Madura, tetapi lomba karapan sapi di lahan kering atau lapangan luas sementara lomba kerbau rawa di hamparan berair yang penuh dengan tanaman rawa.
Kerbau Rawa

Kerbau Rawa atau biasa disebut Kerbau Kalang yang hidupnya lebuh banyak di air. Untuk menarik kunjungan wisatawan maka dilakukan terobosan dengan membuat lomba renang kerbau rawa. 

Lomba renang kerbau rawa

Lomba kerbau rawa tersebut, biasanya diselanggarakan pada setiap perayaan hari kemerdekaan RI, di lokasi yang sudah disediakan di kawasan tersebut, sehingga bagi turis mudah melihat atraksi lomba kerbau rawa itu.
Tetapi, bukan hanya atraksi lomba kerbau rawa yang menjadi daya pikat wisatawan khususnya wisatawan mancanegara ke daerah itu, yang menarik mereka jusru menyaksikan usaha peternakan kerbau itu yang dinilai rada unik. Berdasarkan catatan, kerbau rawa (Bubalus carabanensis) yang pula disebut sebagai kerbau (hadangan) kalang, karena kehidupan kerbau-kerbau ini berada di atas kalang di atas rawa.
Kerbau rawa sedang berkubang

Kalang terbuat dari kayu-kayu besar yang disusun di tengah rawa untuk berteduhnya ternak besar ini, setelah berenang ke sana-kemari seharian di air dalam rawa untuk mencari makan.
 
Kandang kerbau rawa

Sebuah kalang yang dibangun para peternak masyarakat Danau Panggang ini bisanya mampu menampung antara puluhan hingga ratusan ekor kerbau.
Karena kekhasan yang dimiliki oleh keadaan alamnya sebagai area genangan rawa serta keunikan penggembalaan ternak kerbau rawa yang dimiliki oleh daerah ini, di desa Bararawa kecamatan Danau Panggang dibangun stadion khusus sebagai arena lomba renang kerbau rawa. Lomba renang ini merupakan acara tahunan yang diselenggarakan sebagai alternatif wisata di daerah.

Amuntai Jual Kerajinan
Tempat wisata pasar kerajinan dan sentra industri meubel yang berlangsung subuh Kamis merupakan kegiatan transaksi hasil-hasil kerajinan para pengrajin yang ada di Hulu Sungai Utara. Pada kegiatan pasar subuh ini banyak pedagang perantara yang melakukan transaksi dan membawa hasil-hasil kerajinan ini keluar daerah/pulau. Matahari belum lagi terbit. Namun, ratusan pengrajin sudah berduyun-duyun menuju jalan depan Rumah Sakit Pambalah Batung Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Mereka kemudian menjejer barang bawaannya di tepi jalan dengan rapi seperti ada yang mengatur.
Mungkin fenomena itu hanya ada di Amuntai. Sebuah "pameran on the road" yang diselenggarakan rakyat kecil yang berprofesi sebagai perajin. Mereka datang dari segala penjuru, mulai dari darat hingga hulu sungai, tanpa ada yang memberi komando.
Barang bawaan mereka beraneka macam, mulai dari yang benar-benar tradisional hingga yang modern. Mulai dari desain kerajinan yang khas desa hingga sudah tersentuh "desain kota" yang biasanya diperuntukkan bagi ekspor.
Dari "kubu perajin tradisional", berdatanganlah barang- barang kerajinan fungsional khas desa, seperti alat tangkap ikan tradisional lukah dan jambeh, nyiru, tanggui (caping khas banjar), lanjung (tas khas dayak), dan takitan (bakul untuk panen).
Kerajinan tikar, topi, kipas, dan anyaman lainnya sudah menjadi pemandangan dominan di pasar yang hanya ada setiap Kamis itu. Semua barang itu langsung berasal dari perajin utama yang keluar dari desa-desa sekitar Amuntai, sekitar 250 kilometer dari Banjarmasin.
"Kubu perajin modernis" membawa kerajinan yang pernah berjaya sebagai primadona ekspor pada tahun 1980-an. Di antaranya didominasi oleh kerajinan berbahan baku rotan, seperti lampit, kotak tisu dari rotan, kursi malas dari rotan, sketsel pintu dari rotan, dan beraneka jenis anyaman rotan lainnya.
"Pokoknya semua jenis anyaman ada di sini dan jika belum ada, bisa dibuatkan. Barangnya seperti apa, silakan ditunjukkan ke kami, pasti kami bisa membuatkannya berdasarkan gambar itu," kata Mastur, perajin dari Palimbangan, Kecamatan Amuntai Utara.
Soal harga? Di pasar itu dikenal sebagai pasar murah meriah. Sebuah topi bundar dari anyaman purun, misalnya, hanya dilepas pengrajin dengan harga Rp 1.000. Jika mengambil banyak, misalnya satu kodi, pedagang melepasnya dengan harga Rp 18.000 per kodi.
Sebuah kursi malas berpenampilan mewah yang terbuat dari rotan hanya ditawarkan Rp 75.000. Tikar dengan motif tradisional yang langka dengan ukuran 1,5 m x 2 m di pasar itu hanya dijual Rp 10.000.
Berbagai bentuk tas dan bakul yang terbuat dari anyaman tradisional rotan di pasar itu hanya ditawarkan antara Rp 15.000 sampai Rp 50.000. Para pedagang mengklaim anyaman mereka sudah sering dikirim ke Bali dan dari Bali diekspor ke mancanegara.
KAMIS pagi merupakan hari pasar khusus untuk barang kerajinan dari para pengrajin. Walaupun dinamakan pasar, tidak ada pengelola atau pemungut retribusi di kawasan itu. Bahkan, parkir kendaraan pun tidak ada yang memungut.
Kabupaten Hulu Sungai Utara setelah berpisah dengan kabupaten baru Balangan kini memang praktis tak memiliki sumber daya alam. Dengan lepasnya Balangan yang kaya batu bara, Amuntai kini benar-benar bergantung pada keterampilan sumber daya manusia, khususnya di bidang kerajinan.
Perajin dari Palimbangan, Kecamatan Amuntai Utara, Yusnah, mengatakan, dirinya dan juga hampir semua warga desanya sudah puluhan tahun benar-benar bergantung pada kerajinan tangan. Pasang surut desa tersebut juga bergantung pada nasib kerajinan di mata konsumen.
Pada dekade 1980-an, misalnya, di kalangan para pengrajin dianggap sebagai tonggak kejayaan kerajinan Amuntai karena kerajinan dari berbagai desa itu berhasil menembus ekspor ke berbagai negara Asia, terutama Jepang. Masa kejayaan itu berangsur-angsur surut memasuki dekade 1990-an.
Walaupun demikian, para perajin yang melayani pasar lokal hingga kini terus bertahan dan lambat laun memasuki tahun 2004 ini kerajinan Amuntai bangkit kembali. Desa-desa yang dulu terpuruk kini kembali bangkit dan mereka kembali menganyam.
Selain dengan tetap menguasai pasar ekspor melalui kota-kota di luar Jawa, semisal Surabaya dan Bali, kini mereka sudah berhasil ekspansi pasar ke Taiwan dan Korea. Sebelumnya, mereka hanya mengandalkan pasar ke Jepang, terutama untuk kerajinan lampit.
Kerajinan memang sudah mendarah daging. Bahkan, di Hulu Sungai Utara dimungkinkan tidak ada yang mau menganggur karena semua memiliki keterampilan menganyam atau beternak.
Setiap hari di desa-desa wisata itu mereka menganyam dengan puncak kegiatannya terjadi pada Senin hingga Rabu. Hari-hari itu masyarakat desa sedang mempersiapkan barang kerajinan untuk dibawa ke Pasar Kerajinan Kamis Subuh di Amuntai.

Monumen Kota Bebek Alabio
Kota Amuntai juga dikenal sebagai Kota Agrowisata Bebek Alabio. Oleh karena itu, di tengah kota terdapat sebuah patung bebek sebagai landmark kota ini. Namanya Monumen Bebek Alabio.
Di kota Amuntai ini berdiri Monumen Itik Alabio dengan megah

Menurut beberapa orang yang pernah merasakan masakan Bebek Alabio, rasanya tiada tara.

Pasar Itik Alabio
RABU dini hari, Pasar Itik Alabio di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, sudah menggeliat. Lalu lintas mulai padat. Sepeda onthel, sepeda motor, mobil angkutan desa, mobil pikap, truk, gerobak, perahu, dan manusia lalu lalang membawa tiga jenis barang dagangan: itik, telur itik, dan pakan itik.
Nama itik alabio yang tersohor di seluruh Nusantara karena produktivitas telurnya itu memang berasal dari nama pasar itik di tepi sungai itu. Bagi masyarakat Hulu Sungai Utara (HSU), itik alabio adalah penyangga ekonomi rakyat.
Itik alabio

Sekurangnya 14.000 keluarga bergantung kepada rantai bisnis 1,2 juta ekor itik. Beternak itik bagi sebagian orang HSU adalah seni turun-temurun. Keahlian itu sulit diajarkan kepada orang lain karena sebagian mengandalkan ketajaman insting dan kepekaan perasaan semata. Untuk menyeleksi telur yang akan ditetaskan, peternak tidak perlu "meneropongnya", cukup meraba dan merasakan getaran permukaan telur. Untuk membedakan jenis kelamin anak itik, peternak hanya mendengarkan suaranya. "Kalau kwak-kwak pasti jantan, kalau kwik-kwik berarti betina," kata Saiman yang dijuluki "doktor" itik karena keahliannya menangguh (membedakan jantan-betina).

Itik Alabio Desa Mamar
Pada kecamatan Amuntai Selatan yakni di desa Mamar sering mendapat kunjungan khususnya bagi mereka yang berkepentingan dengan kegiatan pengembangan dan perdagangan hasil-hasil ternak itik.
Bagi kabupaten Hulu Sungai Utara yang memiliki ternak itik yang khas daerah yakni itik Alabio, maka adanya sentra ternak itik Alabio di desa Mamar ini menjadi trade mark yang dikenal oleh daerah lainnya.
Titian Panjang Desa Pasar Senin
Titian panjang dan wisata memancing yang terdapat di desa Pasar Senin merupakan titian yang dibangun untuk menghubungkan desa Mawar Sari dengan jalan utama agar dapat menggerakkan roda perekonomiannya serta membuka isolasi akibat sulitnya sarana transportasi ke desa ini sebelumnya. Karena bentuknya yang memanjang sampai puluhan kilometer serta melalui wilayah genangan rawa yang merupakan tempat hidup ikan-ikan perairan rawa, maka daerah ini ramai didatangi khususnya bagi mereka yang gemar memancing.
Kerajinan Sulaman Bordir Desa Teluk Betung
Kerajinan sulaman bordir yang turun-temurun di desa Teluk Betung kecamatan Sungai Pandan menjadi ciri khas daerah ini yang sering dikunjungi.
Lapangan Golf Air Tawar Indah
Di kecamatan Amuntai Utara ini yakni di desa Tayur terdapat lapangan golf Air Tawar Indah yang dibangun oleh pemerintah daerah sebagai tempat rekreasi dan olahraga yang sering dikunjungi khususnya yang memiliki kegemaran golf.

WISATA RELIGIUS
Masjid Jami Sungai Banar
Masjid Jami Sungai Banar terletak di tepi Sungai Banar, sekitar 3 km dari Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Tepatnya, di perbatasan Desa Jarang Kuantan dan Desa Ujung Murung (sebelumnya masuk Desa Ilir Masjid).
Masjid pertama di Amuntai ini berdiri pada tahun 1804 M (1218 H). Terdokumentasi dalam catatan pahatan pada bedug yang masih dimanfaatkan.
Dikisahkan, sejumlah warga Amuntai yang sedang berguru kepada Waliyullah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1812M) di Martapura, menerima saran dari Syekh agar dibangun sebuah masjid di wilayah Amuntai. Kebetulan saat itu memang belum ada masjid. Selain itu Sang Wali juga memberikan sebuah Kitab Suci Al Qur’an tulisan tangan.
Peristiwa Aneh
Bak gayung bersambut, saran itupun disambut hangat warga Amuntai. Secara bersama, masyarakat mempersiapkan pembangunan masjid, seperti batu-batu, kayu, sirap,dll. Hingga kini, bahan baku masjid seperti kayu ulin, tiang, balok, papan dan sirap masih dapat disaksikan di sekitar masjid. Lokasi pertama yang dipilih sekitar 500 meter dari lokasi masjid yang sekarang.
Keanehan terjadi menjelang pemasangan tiang masjid (batajak tiang-bahasa Banjar). Mendadak masyarakat terkejut melihat sejumlah tiang besar yang terbuat dari kayu ulin itu hilang dari tempat pembuatannya. Setelah dilakukan pencarian, tiang-tiang itu ditemukan di tepi sungai di lokasi yang sekarang. Ketika itu, sungainya belum ada namanya.
Tentu saja kegaduhan muncul mengenai siapa yang memindahkan tiang-tiang yang memiliki bobot beberapa ton itu. Untuk mengangkat satu tiang saja dibutuhkan puluhan orang, apalagi lebih dari satu tiang. Padahal malam sebelumnya, masyarakat masih melihat tiang-tiang tersebut.
Keanehan itu pada akhirnya dipandang sebagai sebuah isyarat gaib bahwa lokasi masjid haruslah di tempat tiang-tiang itu berada sekarang. Maka dimulailah pembangunan masjid tersebut. Di kemudian hari tiang-tiang masjid tersebut ada yang mengeramatkan.
Bangunan asli masjid berukuran 25 x 20 meter. Berbentuk mirip Rumah Adat Banjar (panggung), memakai tiang dan bertingkat. Bahan-bahan rangka, lantai dan dinding papan dari kayu ulin dengan bagian atap dari sirap yang tinggi. Ketika itu belum dibuat menara.
Sedangkan mimbar khotbah merupakan wakaf pribadi H. Mahmud yang ukirannya dikerjakan 2 orang ahli ukir pada masa itu, yaitu Buha dan Thahir. Mimbar itu terbuat dari kayu ulin, berukuran 3,8 m x 1 m dengan total tinggi 4,5 meter terdiri dari badan 2 meter dan menara 2,5 meter. Usai masjid dibangun, terjadi lagi peristiwa aneh.
Pria misterius
Ketika itu masyarakat bersyukur menyaksikan jerih payahnya rampung. Merekapun bermusyawarah menentukan nama terbaik buat masjidnya itu. Tetapi belum ada keputusan yang diambil.
Tiba-tiba datanglah sebuah perahu yang merapat di tepi sungai dekat masjid. Penumpang perahu yang tampak seperti pedagang itupun turun dan meminta izin masyarakat untuk menunaikan shalat. Karena kebetulan bertepatan tibanya dengan waktu shalat. Tentu saja masyarakat merasa senang, karena orang itu merupakan jamaah shalat yang pertama dari daerah lain.
Setelah shalat, orang itu kembali melanjutkan perjalanannya. Tetapi masyarakat terkejut melihat sebuah kantong berisi uang (kadut duit-bahasa Banjar) tertinggal di tepi sungai dekat perahu tadi bersandar. Merekapun sepakat untuk menyimpannya kalau-kalau orang itu kembali. Apalagi setelah diingatnya orang itu berperilaku baik dan alim.
Benar saja, beberapa hari kemudian orang itu datang lagi. Masyarakat pun kembali bergembira melihat si pemilik kantong berisi uang yang cukup banyak itu. Mereka bukan saja menyerahkan hak orang itu, melainkan juga menjamunya makan.
Pada waktu itulah, orang yang tidak diketahui jatidirinya itu berkata, “Urang-urang sini banar-banar kadada nang culasnya (orang-orang di sini semuanya jujur, tidak ada yang culas atau curang-demikian terjemahan daribahasa Banjar)”.
Kemudian orang itu bertanya seputar nama sungai tempat perahunya ditambat dan juga nama masjid yang baru dibangun itu. Masyarakat serentak menggelengkan kepalanya. Baik sungai atau masjid memang belum ada namanya.
Orang itupun tersenyum sambil berkata,” Bagaimana kalau sungai itu diberi nama Sungai Banar dan masjidnya diberi nama Masigit (masjid) Sungai Banar?”
Serentak masyarakat bertakbir memuji kebesaran Allah SWT. Kebuntuan masyarakat menamai masjid pun terpecahkan. Setelah itu, pria itupun pergi. Tetapi siapakah pria misterius itu? Tidak seorangpun mengetahui asal usulnya.
Hingga kini masyarakat meyakini pria misterius itu tergolong Waliyullah. Sebagai buktinya, pernah ada upaya penggantian nama masjid telah berulangkali dilakukan, tetapi masyarakat tetap tidak bisa menerima. Upaya penggantian pernah terjadi tahun 1990. Nama masjid diganti menjadi Masjid Baiturrahman. Nama baru ini bahkan disahkan dalam sertifikat di Kantor Pertanahan Hulu Sungai Utara. Pada tahun 2000, muncul nama baru: Masjid Istiqomah. Nama inipun tercantum dalam Skep Kakanwil Depag Kalsel tentang Penetapan Nomor Induk Masjid, dengan nomor urut: 1764090/61916.
Tetapi nama-nama baru itu sangat tidak populer dan hampir tidak pernah disebut masyarakat, kecuali nama Masjid Sungai Banar. Belakangan nama masjid ditambah menjadi Masjid Jami Sungai Banar untuk menunjukkan sebagai masjid besar dan bersejarah
Tokoh-tokoh ulama
Berdirinya Masjid Jami Sungai Banar menyemarakkan kehidupan beragama masyarakat Amuntai dan sekitarnya. Bahkan ada yang datang dari wilayah lain untuk belajar dan menuntut ilmu. Keberadaannya dapat dikatakan sebagai pusat pengembangan Agama Islam waktu itu.
Tercatat beberapa ulama besar yang pernah mengisi taklimnya di masjid ini, seperti: Tuan Guru H. Abdul Qodir (lahir thn.1830M ), Tuan Guru H. Ahmad bin H. Abdul Qadir (lahir 1860-1944), Tuan Guru H. Ahmad Khatib bin H.Muhammad Arif (1866-1956), Tuan Guru H, Abdul Hamid bin H. Matsaleh (1870-1940), Tuan Guru H.Abdul Hamid bin H. Jamaluddin (1896-1951, beliau wafat di Makkah), dll.
Para ulama besar itu umumnya juga pernah menimba ilmu di Makkah. Sebagai contoh, Tuan Guru H. Ahmad sempat mukim di Makkah selama 40 tahun. Salah seorang murid beliau yang bernama Tuan Guru H.Abdul Rasyid (1884-1934) dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Pakapuran Amuntai. Murid beliau yang juga terkenal adalah H.Ahmad Hasan Qadi dan H.M. Jannawi Amuntai, H.Jamaluddin dari Negara, H.M. Nawawi, H.Mukeri dari Birayang dan H. Zamzam dari Barabai.
Begitupula dengan Tuan Guru H.Abdul Hamid yang pernah mengajar di Makkah dengan murid antara lain K.H Abdul Karim Al Banjari Kandangan dan K.H Mahfudz Amin (pendiri Ponpes Ibnu Amin Pamangkih Barabai).
Pasukan Gaib
Bagi masyarakat Amuntai, para ulama besar itu selain dikenal dengan kedalaman ilmunya, juga karena karomahnya. Cerita seputar keramat para ulama itu masih dipercaya hingga kini. Diantaranya cerita karomah Tuan Guru H. Abdul Hamid yang tubuhnya terangkat seperti terbang saat sedang itikaf di bulan Ramadhan.
Terlebih lagi, saat perang kemerdekaan masjid ini pernah dijadikan semacam markas untuk mengatur strategi perang. Ketika itu, sekelompok orang yang dijuluki Pasukan Gaib dikenal memiliki ilmu daya linuwih yang mampu mengalahkan musuh berkekuatan besar. Penjajah bahkan tidak pernah bisa mengenali atau mendeteksi kehadiran mereka. Sepintas mereka layaknya santri biasa, mengaji Kitab Kuning. Padahal mereka juga digembleng ilmu-ilmu kadigjayaan agar siap menjadi Pasukan Gaib.
Dikisahkan, suatu ketika Pasukan Gaib yang dipimpin Mat’ali bersama wakilnya Itar dan sekitar 70 orang berniat menyerang markas Belanda. Sebelum berangkat mereka mengambil kain putih yang biasa dipakai Khatib Jumat. Mereka lalu menyobek kain itu menjadi dua. Sebuah diikatkan did kepala, yang lain diikatkan di pinggang. Sedangkan tongkat Khatib dijadikan tiang bendera pasukan sekaligus juga tombak.
Mereka pun menyerbu sarang musuh dan memperoleh kemenangan mutlak tanpa ada korban dipihak Pasukan Gaib. Sebagian musuh kabur ke daerah lain. Kisah ini sangat terkenal, terutama menyangkut kekuatan gaib yang dimiliki pasukan itu. Tetapi sayangnya, Misteri tidak berhasil melacak jejak ilmu kadigjayaan Pasukan Gaib (Ghost Soldiers).
Tiang perdamaian
Dalam pada itu, Misteri mendengar pula beberapa kisah lain yang tergolong unik seputar masjid yang juga merupakan cagar budaya ini.
Pada zaman dulu, apabila terjadi pertikaian antar suku, maka mereka melakukan pembicaraan damai di masjid ini. Sebagaimana diungkapkan Ruben, warga suku Dayak Kenyah yang tinggal di wilayah Muara Kate, Tabalong.
Menurutnya, cerita seputar karomah masjid itu didapatnya dari orang-orang tua dulu. Dia menceritakan, pernah ada pertikaan warga. Maka diantara mereka yang bertikai itu kemudian mengambil inisiatif untuk mengadakan perjanjian damai di Masjid Jami. Padahal lokasi pertikaan itu sendiri jauh dari wilayah Amuntai. Terkadang yang bertikai pun berlainan keyakinan dengan ulama.
Ketika itu ulama-ulama besar memiliki kharisma yang diyakini mampu mengakhiri pertikaian. Konon mereka yang bertikai itu melakukan perdamaian di dekat salah satu tiang masjid. Hingga kini, ada sebagian orang yang mengeramatkan tiang perdamaian tersebut.
Misteri terkejut juga mendengarnya. Tapi begitulah sebuah kisah tutur turun-temurun yang masih hidup. Uniknya lagi, tiang yang dikeramatkan itupun tidak semua orang mengetahuinya.
Naik haji ke Masjid Jami Sungai Banar
Keyakinan sebagian orang terhadap karomah masjid ini, setidaknya dibuktikan sejumlah mahasiswa IAIN Banjarmasin yang melakukan penelitian seputar maksud tujuan orang berkunjung atau berziarah ke Masjid Jami. Hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata peziarah datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan ada juga dari Negara tetangga.
Banyak diantara peziarah yang datang bermaksud melakukan tirakat untuk suatu hajat tertentu. Pada saat tirakat mereka biasanya juga bernazar, apabila hajatnya terkabul maka akan datang lagi untuk menunaikan nazarnya. Lalu hajat apa yang paling sering dilakukan?
Kisah ini Misteri dapatkan dari pria asal Martapura. Kebetulan pria ini seorang spiritualis yang biasa mendengar kisah-kisah legenda atau kegaiban di wilayah Kalsel.
Menurutnya, ada kepercayaan di masyarakat bahwa kalau mau pergi haji, datanglah ke Masjid Jami. Maksudnya adalah, apabila seseorang berkeinginan beribadah haji ke Makkah, tetapi kekurangan atau bahkan tidak ada dana yang mencukupi, maka mereka datang ke Masjid Jami untuk melakukan tirakat.
Di masjid itu, mereka lantas beribadah memohon sambil menangis kepada Tuhan agar keinginannya dapat terlaksana. Mereka juga berpuasa dan berzikir. Syukurlah, banyak diantara mereka yang terkabul hajatnya.
Tetapi dia mengingatkan, meski kisah ini tergolong aneh, tidak berarti orang-orang yang berkeinginan kuat pergi haji tapi kurang modal lantas datang ke Masjid Jami.
“Masjid itu kan rumah Tuhan. Maka sering-seringlah beribadah di masjid. Jangan hanya Jumat atau Maghrib saja,” demikian katanya.
Menurutnya, apabila seseorang sudah terbiasa beribadah di masjid (yang nota bene adalah ‘Rumah Tuhan’), Allah SWT pasti akan meridhoi hambaNya untuk beribadah di Masjidil Haram.”
Jadi sering-seringlah ibadah di masjid berjamaah dengan sesama Muslim lainnya. Insya Allah, mereka yang ikhlas melakukan akan berkesempatan ibadah di dekat Rumah Tuhan (Ka’Bah) di Mekkah.
Namun tidak semua yang tirakat di Masjid Jami berhajat naik haji. Ada diantara mereka yang ingin mendapat jodoh, usahanya laris, dll. Semua itu merupakan hal wajar dan sah-sah saja. Beribadah di masjid secara berjamaah terasa afdhol dan lebih cepat terkabulnya hajat daripada ibadah di rumah secara sendiri-sendiri.
Selain tempat ibadah juga pernah dipergunakan para pejuang kemerdekaan RI untuk menyusun strategi melawan penjajah Belanda, masjid ini sudah masuk dalam daftar cagarbudaya dan banyak di kunjungi orang untuk berziarah.

Mesjid Raya
Masjid Raya Amuntai terletak di Kota Amuntai, Ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).Masjid megah berpintu gerbang tinggi ini didominasi warna cokelat. Beda dengan kebanyakan masjid pada umumnya yang bercat putih.
Keunikan lainnya, terlihat dari atap masjid ini yang menggunakan atap rumah adat Kalimantan Selatan. Masjid ini dikeililingi taman yang luas dan hijau. Kondisi itu membuatnya semakin enak dipandang mata. Tak berlebihan, kalau masjid ini menjadi kebanggaan warga Kota Amuntai.

Makam Datu Syekh Sayid Sulaiman
Di kecamatan Amuntai Utara tepatnya di desa Pakacangan, adanya makam Datu Syekh Sayid Sulaiman yang merupakan makam keramat merupakan lokasi yang sering mendapat kunjungan.

2 komentar:

  1. Candi agung itu sebenarnya areal pekuburan kuno kan? Soalnya saat dilakukan penggalian di sana byk ditemukan byk perkakas bekal kubur org jaman dulu.

    BalasHapus
  2. Herbal Jantung Tanpa Efek Samping

    BalasHapus