Kabupaten
Banjar dengan ibukota Martapura memiliki cukup banyak lokasi yang dapat
dijadikan sebagai obyek wisata, baik itu berupa Wisata Alam, Wisata Buatan,
Wisata Religius, Wisata Sejarah/Wisata Budaya, dan Wisata Adat yang cukup
potensial untuk dikembangkan.
WISATA
SEJARAH / WISATA BUDAYA
1.
Sejarah Kerajaan Banjar.
Kabupaten
Banjar dengan Ibukotanya Martapura mempunyai latar belakang sejarah yang sangat
penting sebelum menjadi Kabupaten sekarang, dulunya menjadi pusat pemerintahan
Kerajaan banjar.
Kerajaaan
Banjar di Kabupaten Banjar di mulai pada tahun 1612, dimasa pemerintahan Sultan
Musta’in Billah yang dikenal dengan Pangeran Kecil memindahkan keraton dari
Banjarmasin ke Kayu Tangi atau Telok Selong Martapura, karena keraton di Kuwin
dihancurkan Belanda. Daerah pusat kerajaan adalah Karang Intan dan Martapura
sebagai pusat pemerintahan dan keraton sultan, pada akhir masa pemerintahan
Sultan Hidayatullah.
Terbentuknya
Kerajaan Banjar, Raja yang Memerintah dan Susunan Pemerintahan.
A.
Terbentuknya Kerajaan Banjar
Kerajaan
Islam yang terletak di bagian Selatan Pulau Kalimantan, disebut Kesultanan
Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan kelanjutan dari Kerajaan Hindu yaitu
Kerajaan Negara Daha.
Kata
Banjarmasin merupakan paduan dari dua kata, Bandar dan Masih, berasal dari nama
seorang Perdana Menteri Kerajaan Banjar yang cakap dan berwibawa serta
mempunyai pandangan yang jauh ke depan untuk menjadikan Kerajaan Banjar Sebuah
Kabupaten Banjar dengan Ibukotanya Martapura mempunyai latar belakang sejarah
yang sangat penting sebelum menjadi Kabupaten sekarang, dulunya menjadi pusat
pemerintahan Kerajaan Banjar.
Kerajaan
Banjar di Kabupaten banjar dimulai pada tahun 1612, di masa pemerintahan Sultan
Mustain Billah yang dikenal dengan Pangeran Kecil memindahkan keraton dari
Banjarmasin ke Kayutangi atau Telok Selong dengan pusat pemerintahan di Kuin
Banjarmasin.
B.
Raja-Raja Yang Memerintah
1.
SULTAN SURIANSYAH
2. SULTAN RAHMATULLAH
3. SULTAN HIDAYATULLAH
4. SULTAN MUSTA’INBILLAH
5. SULTAN INAYATULLAH
6. SULTAN SA’IDULLAH
7. SULTAN TAHLILULLAH
8. SULTAN TAHMIDULLAH
9. SULTAN TAMJIDILLAH
10. SULTAN TAHMIDILLAH
11. SULTAN SULAIMAN RAHMATULLAH
12. SULTAN ADAM ALWASIQUBILLAH
13. SULTAN MUDA ABDURRAHMAN
2. SULTAN RAHMATULLAH
3. SULTAN HIDAYATULLAH
4. SULTAN MUSTA’INBILLAH
5. SULTAN INAYATULLAH
6. SULTAN SA’IDULLAH
7. SULTAN TAHLILULLAH
8. SULTAN TAHMIDULLAH
9. SULTAN TAMJIDILLAH
10. SULTAN TAHMIDILLAH
11. SULTAN SULAIMAN RAHMATULLAH
12. SULTAN ADAM ALWASIQUBILLAH
13. SULTAN MUDA ABDURRAHMAN
selengkapnya
mengenai riwayat masing-masing raja yang memerintah di kerajaan banjar tersebut
bisa anda lihat di Riwayat Raja-Raja Kerajaan Banjar
C.
Susunan Pemerintahan
Pada
abad ke-17 kerajaan Banjar terkenal sebagai penghasil lada. Pedagang-pedagang
Banjar melakukan aktifitas di Banten sekitar tahun 1959. pada waktu itu 2 (dua)
buah jukung (kapal) banjar dirampok oleh kompeni.
Disamping
itu Belanda berusaha melakukan hubungan dagang dengan kerajaan Banjar, dengan
mengirimkan utusan pada tahun 1607, tidak mendapat sambutan dengan baik.
Terjadi petentangan yang mengakibatkan terbunuhnya seluruh utusan Belanda
tersebut.
Pada
tahu 1612 Belanda mengadakan pembalasan dengan menyerbu, menembak dan mmembakar
Keraton Banjar di Kuin Banjarmasin. Pada waktu itu Kerajaan Banjar diperintah
oleh Raja yang ke-4, yaitu Sultan Musata’in Billah dengan gelar Marhum
Panembahan (1959-1620). Beliau akhirnya memindahkan pusat pemerintahan dari Kuin
ke Martapura.
Perpindahan
ini tidak dilakukan langsung ke Martapuratapi secara berangsur-angsur dari Kuin
ke Muara Tambangan, Batang Banyu, Kayu Tangi sampai Martapura.
Di Martapura pemerintahan berlanjut sampai Pemerintahan Sultan Inayatullah dan Sultan Sa’idullah (Ratu Anum). Sultan Sa’idullah seorang yang beribadat dan ingin berkonsentrasi di bidang agama.
Pemerintahan kemudian diserahkan kepada saudaranya dari ibu orang Jawa bernama Adipati Halid (Pangeran Ratu = pangeran Tapesana), karena anak Sultan Sa’idullah bernama Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa.
Di Martapura pemerintahan berlanjut sampai Pemerintahan Sultan Inayatullah dan Sultan Sa’idullah (Ratu Anum). Sultan Sa’idullah seorang yang beribadat dan ingin berkonsentrasi di bidang agama.
Pemerintahan kemudian diserahkan kepada saudaranya dari ibu orang Jawa bernama Adipati Halid (Pangeran Ratu = pangeran Tapesana), karena anak Sultan Sa’idullah bernama Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa.
Pada
waktu itulah terjadi pemberontakan oleh salah seorang saudara Adipati Halid
dati ibu orang Biaju bernama Adipati Anum (Pangeran Surianata). Pemberontakan
diakhiri dengan kesepakatan Adipati Halid tetap bertahta di Martapura dan
Adipati Anum di Banjarmasin. Tahun 1666 Adipati Halid meninggal, Amirullah
Bagus Kesuma naik tahta dan terjadi revolusi istana melawan pamannya pangeran
Surianata di Banjarmasin.
Pangeran
Suriantan mati terbunuh dalam perjalanan dari ibukota kembali ke Keraton Bumi
Kencana Martapura. Hal ini berlanjut sampai pemerintahan Sultan Hamidullah,
Sultan Tamjid, Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah, Sultan Nata Dilaga, Sultan
Sulaiman, dan Sultan Adam.
Pada
waktu pemerintahan Sultan Adam (1825-1857) beliau menempati istana di Sungai
Mesa (Banjarmasin) dengan permaisuri yang bernama Nyai Ratu Komala Sari. Di
saat beliau sakit dibawa ke Martapura dan meninggal di sana.
Pada waktu pemerintahan Sultan Tamjid (dinobatkan di Bumi Kencana) beliau berkedudukan di Sungai Mesa banjarmasin sampai turun tahta pada tanggal 25 Juni 1859.
Pada waktu pemerintahan Sultan Tamjid (dinobatkan di Bumi Kencana) beliau berkedudukan di Sungai Mesa banjarmasin sampai turun tahta pada tanggal 25 Juni 1859.
Susunan
Pemerintahan
Susunan pemerintahan Kerajaan Banjar yang disebutkan terdahulu mengalami perubahan khususnya pada masa pemerintahan Sultan Adam Alwasiqubillah. Perubahan tersebut meliputi :
1. Radja :
Sultan – Panembahan
2. Mangkubumi :
Anggota di bawah mangkubumi adalah :
Panganan-Pangiwa-Manteri Bumi dan 40 orang Manteri Sikap
3. Mufti :
Hakim tertinggi, pengawas pengadilan umum
4. Qadi :
Kepala urusan hukum agama Islam
5. Penghulu :
Hakim rendah
6. Lurah :
Langsung sebagai pembantu lalawangan dan mengamati pekerjaan beberapa orang, pembakal (kepala kampung) di bantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
7. Pembakal :
Kepala kampung yang menguasai beberapa anak kampung
8. Mantri :
Pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan lalawangan.
9. Tatuha Kampung :
Orang yang terkemuka di kampung
10. Panakawanan :
Segala macam pajak dan kewajiban
11. Sarawasa, Sarabuana, SaraBadja :
Kuasa di seluruh Pedalaman (Keraton)
12. Mandung dan Pasa Juda :
Kepala Balai Rongsari dan Bangsal
13. Mamagar Sari :
Penggapit Raja duduk di Sitilohor.
14. Pariwala, dan Singataka :
Kuasa dalam urusan dan pakan (pasar)
15. Sarageni dan Saradip :
Kuasa dalam urusan alat senjata
16. Puspa Wana :
Kuasa dalam urusan tanaman, perhutanan, perikanan, peternakan, dan berburu.
17. Karang Adji dan Nanang :
Ketua Balai Petani mendapat kehormatan sejajar dengan Raja sebagai pahlawan turunan bangsawan.
18. Warga Sari :
Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan.
19. Anggamarta :
Juru Bandar (urusan pelabuhan)
20. Astaprana :
Juru Tabuhan-tabuhan kesenian dan kesusasteraan.
21. Kaum Mangumbara :
Kepala Pengurus Upacara
22. Wiramarta :
Manteri Dagang
23. Budjangga :
Kepala dalam urusan bangunan-bangunan rumah dan Agama.
24. Singabana :
Kepala Ketentraman Umum.
Susunan pemerintahan Kerajaan Banjar yang disebutkan terdahulu mengalami perubahan khususnya pada masa pemerintahan Sultan Adam Alwasiqubillah. Perubahan tersebut meliputi :
1. Radja :
Sultan – Panembahan
2. Mangkubumi :
Anggota di bawah mangkubumi adalah :
Panganan-Pangiwa-Manteri Bumi dan 40 orang Manteri Sikap
3. Mufti :
Hakim tertinggi, pengawas pengadilan umum
4. Qadi :
Kepala urusan hukum agama Islam
5. Penghulu :
Hakim rendah
6. Lurah :
Langsung sebagai pembantu lalawangan dan mengamati pekerjaan beberapa orang, pembakal (kepala kampung) di bantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
7. Pembakal :
Kepala kampung yang menguasai beberapa anak kampung
8. Mantri :
Pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan lalawangan.
9. Tatuha Kampung :
Orang yang terkemuka di kampung
10. Panakawanan :
Segala macam pajak dan kewajiban
11. Sarawasa, Sarabuana, SaraBadja :
Kuasa di seluruh Pedalaman (Keraton)
12. Mandung dan Pasa Juda :
Kepala Balai Rongsari dan Bangsal
13. Mamagar Sari :
Penggapit Raja duduk di Sitilohor.
14. Pariwala, dan Singataka :
Kuasa dalam urusan dan pakan (pasar)
15. Sarageni dan Saradip :
Kuasa dalam urusan alat senjata
16. Puspa Wana :
Kuasa dalam urusan tanaman, perhutanan, perikanan, peternakan, dan berburu.
17. Karang Adji dan Nanang :
Ketua Balai Petani mendapat kehormatan sejajar dengan Raja sebagai pahlawan turunan bangsawan.
18. Warga Sari :
Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan.
19. Anggamarta :
Juru Bandar (urusan pelabuhan)
20. Astaprana :
Juru Tabuhan-tabuhan kesenian dan kesusasteraan.
21. Kaum Mangumbara :
Kepala Pengurus Upacara
22. Wiramarta :
Manteri Dagang
23. Budjangga :
Kepala dalam urusan bangunan-bangunan rumah dan Agama.
24. Singabana :
Kepala Ketentraman Umum.
Kerajaan
Banjar sebagai Kerajaan Islam keberadaannya mempunyai 2 (dua) pusat
pemerintahan yaitu Kuin di Banjarmasin dan Bumi Kencana Martapura.
Pada
waktu pusat pemerintahan di Martapura kerajaan bercorak kerajaan Islam ini
sangat berkembang pesat. Di Martapura (Lok Gabang) tempat lahir seorang ulama
besar Syech Muhammad Arsyad AlBanjari (1710-1812) yang lebih dikenal dengan
sebutan datu Kalampaian. Beliau mengarang sebuah bermacam-macam kitab sebagai
penuntun umat. Kitab yang sangat terkenal adalah Sabilal Muhtadin dicetak di
Mekkah, Istambul, dan Qairo. Tersebar ke wilayah Malaysia, Philipina, Singapura,
Thailand, Brunei, Kampuchea, Vietnam, dan Laos.
Beliau
lahir pada masa pemerintahan Sultan Hamidullah (1700-1734) disekolahkan dan
dibiayai oleh Sultan Tamjidillah (1734-1759) ke Mekkah selama 30 tahun,
kemudian kembali ke kerajaan pada waktu pemerintahan Sultan Nata Dilaga atau
Sultan Tahmidillah (1801-1825).
Pada waktu pemerintahan Sultan Adam Alwasiqubillah telah dibuat untuk pertama kalinya ketetapan hukum tertulis dalam menerapkan hukum Islam di Kerajaan Banjar yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan Adam.
Pada waktu pemerintahan Sultan Adam Alwasiqubillah telah dibuat untuk pertama kalinya ketetapan hukum tertulis dalam menerapkan hukum Islam di Kerajaan Banjar yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan Adam.
Dari
beberapa sumber disebutkan ada beberapa tempat yang menjadi kedudukan raja
setelah pindah ke Martapura seperti : Kayu Tangi, Karang Intan dan Sungai Mesa.
Tetapi dalam beberapa perjanjian antara Sultan Banjar dan Belanda, penanda
tanganan di Bumi Kencana. Begitu juga dalam surat menyurat di tujukan kepada
Sultan di Bumi Kencana Martapura.
Jadi Bumi Keraton Kencana Martapura adalah pusat pemerintahan untuk melakukan aktivitas kerajaan secara formal sampai dihapuskannya kerajaan banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860.
Jadi Bumi Keraton Kencana Martapura adalah pusat pemerintahan untuk melakukan aktivitas kerajaan secara formal sampai dihapuskannya kerajaan banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860.
Status
kerajaan banjar setelah dihapuskan masuk ke dalam Keresidenan Afdeling dan
Timur Borneo. Wilayah di bagi dalam 4 afdeling, salah satunya adalah afedling
Martapura yang terbagi dalam 5 Distrik, yaitu Distrik Martapura, Riam Kanan,
Riam Kiwa, Banua Ampat dan Margasari.
Selanjutnya
terjadi perubahan dalam keorganisasian pemerintahan Hindia Belanda. Dibawah
Afdelingterdapat Onderafdeling dan distrik.
Afdeling Martapura terdiri 3 onderafdeling, salah satunya adalah onderafdeling Martapura dengan distrik Martapura. Perubahan selanjutnya Martapura menjadi onderafdeling di bawah afdeling Banjarmasin.
Afdeling dipimpin oleh Controleur dan Kepala Distrik seorang Bumi Putera dengan Pangkat Kiai.
Afdeling Martapura terdiri 3 onderafdeling, salah satunya adalah onderafdeling Martapura dengan distrik Martapura. Perubahan selanjutnya Martapura menjadi onderafdeling di bawah afdeling Banjarmasin.
Afdeling dipimpin oleh Controleur dan Kepala Distrik seorang Bumi Putera dengan Pangkat Kiai.
Setelah
kedaulatan diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia tanggal
27 Desember 1949, ditetapkan daerah Otonomi Kabupaten Banjarmasin. Daerah
otonom Kabupaten Banjarmasin meliputi 4 Kewedanaan.
DPRDS
pada tanggal 27 Pebruari 1952, mengusulkan perubahan nama Kabupaten Banjarmasin
menjadi Kabupaten Banjar yang disetujui dengan Undang-Undang Darurat 1953,
kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang No.27 Tahun 1959.
2.
Lomba Jukung (perahu tanpa motor) Tradisional Sungai Rangas
Lomba
jukung tradisional merupakan even tetap tahunan yang dilaksanakan setiap tahun
dalam rangka hari jadi Kabupaten Banjar. Bertempat di desa Sei Rangas
Martapura.
3.
Rumah Adat Banjar Teluk Selong
Bagi anda yang ingin mengetahui lebih detail tentang rumah adat Banjar yang Asli dan legendaris, bisa melihatnya di Teluk Selong, jaraknya kurang lebih 3,2 km dari pusat kota Martapura.
Di
sini, terdapat dua rumah adat Banjar tipe Gajah Baliku yang diperkirakan
usianya sudah mencapai 150 tahun.
Dari
dua rumah itu, satu rumah masih dihuni pemiliknya, yang satunya kosong. Namun,
masih terpelihara karena ada juru pelihara yang setiap saat melayani para
pengunjung yang mendatangi rumah ini.
Di
rumah Banjar yang lebarnya 9 m dengan panjang 14 m itu, kaya ornamen ukiran
khas Banjar. Ukiran khas Banjar kita temui kali pertama di bagian pagar dan
pintu masuk rumah. Dinding ruang tamu pun berukir indah.
Pendeknya,
bagi yang ingin melihat keaslian dan ragam ukir khas Banjar. Rumah adat Banjar
Teluk Selong me-rupakan referensi yang utama, sahih dan lengkap. Buktinya,
buku-buku yang berkaitan dengan arsitektur rumah Banjar, selalu merujuk ke
sini.
Keasyikan
lainnya bila mengunjungi situs ini, dari jendela kita bisa melihat hamparan
tumbuhan padi. Kalau pas menguning di senja hari, akan terlihat keemasan yang
menakjubkan. Kala dilihat masih hijau royo-royo, kita seakan melihat dewi
kesu-buran di sana.
di sana.
di sana.
WISATA
BUATAN
1.
Pasar Intan Martapura
Siapa
yang tak kenal dengan kota Martapura atau yang dikenal dengan nama Kota Intan?
Rasanya, rakyat Indonesia dan warga dunia, banyak yang tahu. Sebab, di kota ini
terdapat satu potensi wisata nan menawan: belanja permata dan melihat
penggosokan intan tradisional.
Untuk
mencapai lokasi perdagangan intan Martapura dan Masjid Al Karomah Anda hanya
butuh waktu sekitar satu jam perjalanan dari Kota Banjarmasin (Ibukota Provinsi
Kalimantan Selatan) dengan jarak hanya 40 km, dan hanya setengah jam atau 17 km
dari Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru, sehingga Martapura hanya dijadikan
objek untuk perburuan intan permata.
Lantaran makin berkembang dengan banyaknya pelancong, pemerintah setempat pun merenovasi lokasi ini sejak beberapa tahun silam dan menambah lokasi arena bermain bagi anak-anak dan tempat santai bagi pelancong sambil menikmati hidangan khas Martapura di bagian depan lokasi penjualan intan permata.
Lantaran makin berkembang dengan banyaknya pelancong, pemerintah setempat pun merenovasi lokasi ini sejak beberapa tahun silam dan menambah lokasi arena bermain bagi anak-anak dan tempat santai bagi pelancong sambil menikmati hidangan khas Martapura di bagian depan lokasi penjualan intan permata.
Martapura
memang terbilang kesohor karena selain sebagai penghasil intan terbesar kota
ini juga memiliki basis masyarakat Islam terbesar, di mana terdapat markas
Madrasah Darussalam. Tak heran kalau selain sumber devisa daerah yang
didatangkan dari hasil intan permata, kedatangan pelancong ke Martapura pun
menjadi sumber devisa kedua. Kompleks Pertokoan Cahaya Bumi Selamat yang
membawahi sekitar 87 toko intan dan permata dalam empat blok ini, setiap
harinya ramai dikunjungi para pelancong dari Kalsel selain dari luar Kalsel.
Di
Martapura ini, anda akan dimanjakan dengan berbagai macam dan ragam permata
yang ditawarkan oleh ratusan pertokoan permata yang berada di komplek pasar
Martapura dan Cahaya Bumi Selamat (CBS) dengan harga variatif serta bisa
ditawar.
Anda
bisa memesan permata dengan ukuran dan desain yang anda suka. Di semua toko
permata melayani pemesanan itu seperti Permata Zamrud, dll. Bukan hanya
permata, souvenir-souvenir lainnya pun tersedia di sini. Aneka cinderamata dan
hasil kerajinan dari semua daerah di Kalsel dan Kalteng, banyak tersedia di
sini.
Selain
mengunjungi pusat perbelanjaan intan dan permata, rata-rata pengunjung juga
ingin melihat Masjid Al Karomah yang merupakan masjid terbesar di Kalimantan
ini. Masjid ini memiliki kubah yang unik dengan warna-warna di puncaknya, dan
juga dilengkapi dengan satu menara tinggi dengan arsitektur yang unik.
Arsitektur
di dalam masjidnya pun tak kalah dengan penampilan luarnya. Ademnya situasi
masjid di dalam tidak menggambarkan jika di luar panas terik. Jika Anda
menyempatkan singgah di Martapura untuk mencari cendera mata berupa intan
permata, sebaiknya Anda juga menyinggahi masjid ini untuk menunaikan salah satu
salat lima waktu Anda, karena sayang sekali kalau Anda hanya mencari intan dan
tak singgah di masjid ini.
Cek
Keaslian Intan
Ada yang harus diperhatikan bagi pemburu intan permata di Martapura yaitu, Anda harus langsung bertanya kepada pemilik toko soal keaslian intan permata ini. Pasalnya, barang asli dan palsu tak pernah bisa dibedakan, kecuali jika dicek langsung dengan alat yang mereka miliki sendiri.
Ada yang harus diperhatikan bagi pemburu intan permata di Martapura yaitu, Anda harus langsung bertanya kepada pemilik toko soal keaslian intan permata ini. Pasalnya, barang asli dan palsu tak pernah bisa dibedakan, kecuali jika dicek langsung dengan alat yang mereka miliki sendiri.
Jika
pengunjung tak bertanya apakah ini barang kelas satu atau tidak, si empunya
toko akan mengatakan itu adalah barang kelas satu. Tapi, jika Anda bertanya dan
meminta ia melakukan pengecekan, dengan senang hati akan ia lakukan. Jika
ketahuan barang bukan kelas satu, harga pun akan turun drastis.
2.
Pasar Terapung Lok Baintan
Pasar
Terapung Lok Baintan yang terletak di Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar.
Pelaku pasarnya berasal dari Desa Pemangkuan Sungai Tapang, Lok Baintan dan
Sungai Tabuk sendiri. Pasar tersebut dimulai selepas subuh (jam 5.30) hingga
pukul 10 pagi.
Kegiatannya
hampir sama dengan Pasar Terapung yang ada di tepi Sungai Barito dan yang
membedakannya hanya para pedagang menggunakan topi yang disebut Tanggui.
WISATA
KULINER
Pemancingan
Bincau dan Makan Lesehan
Pemancingan
Bincau dan Makan Lesehan terdapat di Kota Martapura (39 km dari Kota
Banjarmasin).
Agrowisata
Pemancingan Bincau ini Anda bisa menikmati berbagai macam ikan air tawar segar
yang lezat dan gurih, dengan menu masakan dibakar atau digoreng.
Di
sini, anda bisa sepuas hati menikmati ikan nila, mas, gurami, bahkan udang plus
lalapan kalau suka. Makannya secara lesehan menambah nikmat apalagi bila musik
diputar tentu saja nuansanya akan bertambah mengasyikkan dan menambah selera
makan.
Hembusan
udara yang segar dan pemandangan petak-petak sawah yang menguning karena
padinya mendekati masa panen, menambah lengkapnya suasana santai yang anda
nikmati bersama keluarga atau orang-orang tercinta di sekitar anda.
Di
Agrowisata Pemancingan Bincau ini anda juga bisa memancing ikan sendiri.
Setelah ikan didapat, kemudian di timbang dan diberi harga sesuai dengan berat
ikan yang kita dapat tersebut. Untuk selanjutnya terserah Anda, apakah ikan
tersebut dibawa pulang atau dibakar, digoreng.
WISATA
RELIGIUS
1.
Festival Bedug 1 Syawal
Festival
Bedug merupakan even tahunan yang dilaksanakan pada setiap tahun pada akhir
Ramadhan di malam 1 Syawal. Bertempat di halaman Mesjid Agung Al Karomah
Martapura. Puluhan jenis bedug berukuran besar mengeluarkan bunyi bertalu-talu
kala ditabuh para kontestan yang berlaga.
Tidak
jauh dari Kota Martapura (ke arah luar kota Martapura) terdapat obyek wisata
religius yaitu Desa Kelampaian Kecamatan Astambul, sebuah Makam Ulama besar
yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Datu Kalampaian, penyebar agama Islam di Kalimantan.
Makam
ini banyak dikunjungi peziarah yang datang dari Malaysia dan Brunai Darussalam.
Tiap harinya, tak kurang dari ribuan orang yang datang berziarah ke sini.
Bahkan, bila hari Ahad atau hari libur Islam lainnya, paling tidak dua kali
lipat lebih dari hari biasanya orang berziarah ke makam ini.
Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari hidup di tahun 1122 – 1227 Hijriah atau 1710 – 1812
Masehi. Beliau termashyur dengan kitab besar Sabilal Muhtadin yang dipakai di
banyak negara di Asia, dan sebagian Timur Tengah. Nama kitabnya diabadikan
untuk nama masjid besar di Kalimantan Selatatan tepatnya di Banjarmasin, yaitu
Masjid Sabilal Muhtadin.
selengkapnya
mengenai riwayat atau manakib dari ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Albanjari
tersebut bisa anda lihat di Riwayat / Manakib Syekh Muhammad Arsyad Albanjari
3.
Makam K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani (guru Ijai)
Ulama karismatik asal Sekumpul Kota
Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani
(63) atau lebih akrab disebut Guru Ijai atau Guru Sekumpul, tutup usia Rabu 10
Agustus 2005 pagi sekitar pukul 05.10 Wita di kediamannya, Sekumpul Martapura.
Makam KH Muhammad Zaini Abdul Ghani (guru Ijai)

Makam KH Muhammad Zaini Abdul Ghani (guru Ijai)
Begitu
mendengar kabar meninggalnya Guru Ijai lewat pengeras suara di masjid-masjid
selepas shalat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan
berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada
Pasar
Martapura yang biasanya sangat ramai pada pagi hari, sepi karena hampir semua
kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor
dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke
Sekumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. KH Muhammad Zaini Abdul Ghani
(guru Ijai) dimakamkan di pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah Jalan
Sekumpul Martapura, Kalimantan Selatan.
Alimul
'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd. Ghani bin Al 'arif
Billah Abd. Ghani bin H. Abd. Manaf bin Muh. Seman bin H. M, Sa'ad bin H.
Abdullah bin 'Alimul 'allamah Mufti H. M. Khalid bin 'Alimul 'allamah Khalifah
H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad; dilahirkan pada, malam Rabu 27
Muharram, 1361 H (I I Februari 1942 M).
selengkapnya
mengenai riwayat atau manakib dari ulama besar KH Muhammad Zaini Abdul Ghani,
atau biasa disebut Guru Ijai tersebut bisa anda baca di Riwayat / Manakib KH
Muhammad Zaini Abdul Ghani (Guru Ijai).
4.
Makam Datu Abulung
Untuk
mencapai makam Syekh Abulung, peziarah dapat dengan mudah mendatangi daerah Sel
Batang di Kecamatan Martapura. Penanda utamanya adalah masjid Syekh Ambulung
yang terletak di tepi jalan raya. Sesampai di sana, peziarah harus menyeberangi
sungai dengan menggunakan getek (sampan mesin) yang disewakan oleh penduduk untuk
menyeberangi sungai. Tidak lama, hanya butuh 3 menit untuk menyeberangi sungai
yang agak lebar ini dengan tarif Rp. 5000.
Dalam
sejarah pemikiran keagamaan di Kalimantan Selatan, pada abad ke-18 terdapat
tiga tokoh yang terkenal, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, Syekh’Abd
Al-Hamid Abulung, dan Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari (Zafry Zamzam, 1979). Dua
yang pertama, makamnya terdapat di daerah Martapura, sementara yang terakhir
terdapat di daerah Hulu Sungai Utara (Amuntai).
Dibandingkan
dengan kubah (makam) Syekh Arsyad Al-Banjari (1707-1812 M) yang di tanah seribu
sungai ini lebih dikenal dengan sebutan Datu Kalampayan, kubah Syekh ‘Abd Al
-Hamid Abulung, yang lebih dikenal dengan sebutan Datu Abulung, tentu saja
kurang terkenal. Ini disebabkan, selain karena tidak memiliki karya tulis, ‘Abd
Al-Hamid juga bisa dikatakan senasib dengan Syekh Siti Jenar di jawa yang
meninggal karena dibunuh para wali akibat perselisihan mengenai pandangan
keagamaan dalam tasawuf.
Baik
Syek Siti Jenar maupun Syekh ‘Abd Al-Hamid Abulung, keduanya sama-sama
mengajarkan satu cabang filsafat yang kini kurang populer, yaitu metafisika.
Pemikiran mereka sama dengan pemikiran Henry Bergson pada masa modern, Lao Tse
dan Krishnamurti. di Timur, Paraselsus dan Plato serta Plotinus di masa Yunani,
serta beberapa filusuf awal dalam pemikiran Islam.
Meskipun
demikian, nasib Syekh ‘Abd Al-Hamid agaknya lebih beruntung ketimbang Siti
Jenar, sebab ia nyaris tidak memiliki citra yang pejoratif. Setidaknya ini
tersirat dalam kenyataan bahwa dalam tradisi mamangan (bacaan semacam doa)
Banjar, namanya juga sering disebut dan disandingkan dengan Syekh Arsyad
Al-Banjari. Hal ini membuktikan, meskipun ajarannya dianggap menyimpang oleh
jumhur ulama Banjar, namun di mata masyarakat Syekh ‘Abd Al-Hamid tetap
dianggap wali.
Histrogafi
Syekh ‘Abd Al-Hamid
Sukar melacak kapan tepatnya saat Syekh ‘Abd Al-Hamid dilahirkan. Seperti halnya Syekh Siti Jenar, kehidupan Syekh ‘Abd Al-Hamid pun secara umum sukar dilacak datanya. Namun demikian, yang pasti ia menyaksikan Kesultanan Banjar dipimpin oleh Sultan Tamhid Allah, yang berkuasa pada 1778-1808 M.
Sukar melacak kapan tepatnya saat Syekh ‘Abd Al-Hamid dilahirkan. Seperti halnya Syekh Siti Jenar, kehidupan Syekh ‘Abd Al-Hamid pun secara umum sukar dilacak datanya. Namun demikian, yang pasti ia menyaksikan Kesultanan Banjar dipimpin oleh Sultan Tamhid Allah, yang berkuasa pada 1778-1808 M.
Di
masa kekuasaan Sultan Tamhid Allah, kondisi politik Kesultanan Banjar mulai
tidak kondusif. Perebutan kekuasaan antar pembesar kesultanan seringkali terjadi.
Hal inilah yang mendorong Sultan Tamhid Allah bekerjasama dengan Belanda, untuk
mempertahankan kekuasaannya. Sebagai kompensasinya, Sultan Tamhid Allah harus
menyerahkan sebagian wilayah kekuasaannya kepada Belanda. Hal ini terjadi pada
1787 M (Kutoyo dan Sri Sutjianingsih, 1977).
Meski
kondisi politik Kesultanan Banjar tidak lagi kondusif, Banjar tetap menjadi
pusat perdagangan yang paling strategis di wilayah Kalimantan. Kekayaan alamnya
yang melimpah, seperti intan, emas, lilin, damar dan sarang burung walet yang
merupakan komoditas internasional paling laris, menyebabkan Banjar tetap
menjadi incaran para pedagang dari jawa, Makassar, Portugis, Inggris, dan
Belanda. Ini artinya, Kesultanan Banjar yang terletak di pesisir pantai selatan
Kalimantan merupakan wilayah terbuka, baik untuk kepentingan dagang, politik,
maupun penyebaran agama.
Walaupun
Kesultanan Banjar dikenal sangat terbuka bagi masyarakat pendatang dari
berbagai penjuru dunia, yang berbeda etnik maupun agama, para pembesar
kesultanan dikenal sangat taat memeluk Islam. Untuk menunjang spiritualnya itu,
para penguasa Banjar mengangkat para ulama menjadi guru spiritualnya, sekaligus
menjadi pejabat-pejabat kesultanan.
Konon
Syekh ‘Abd Al-Hamid, dalam salah satu sumber, pernah mendapatkan perlakuan
istimewa oleh para Kesultanan Banjar. Dalam penelitian H.A. Rasyidah disebut
Syekh ‘Abd Al-Hamid pernah menjabat posisi strategis di Kesultanan Banjar
tepatnya sebagai mufti (Rasyidah: 1990). Tapi tampaknya, hasil penelitian H.A.
Rasyidah kurang bisa diterima oleh kalangan sejarawan. Pasalnya, seperti
diutarakan Zafry Zamzam Steenbrink, dan Azyumardi Azra, kedatangan Syekh ‘Abd
Al-Hamid ke Kalimantan Selatan, adalah beberapa tahun setelah Arsyad Al-
Banjari kembali dari Arabia. Padahal, Arsyad Al-Banjari langsung diangkat
menjadi mufti. Pertanyaannya, kalau Arsyad Al-Banjari diangkat mufti
sekembalinya dari Arabia, lantas kapan ‘Abd Al-Hamid berkesempatan menjadi
mufti?.
Terlepas
kontroversi jelas ‘Abd Al-Hamid pernah leluasa mengajarkan pandangan tasawuf
wahdah al-wujud (wujudiyyah) Ibn ‘Arabi’ (1165-1240). Pandangan tasawuf wahdah
al-wujud yang dianut Syekh ‘Abd Al-Hamid ini dipengaruhi aliran ittihad-nya Abu
Yazid Al-Busthami (w. 873 H) dan hulul-nya Al-Hallaj (w. 923 H) yang masuk ke
Indonesia melalui Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumatrani serta Syekh Siti
Jenar dari jawa.
Perlu
dicatat disini, agaknya puritanisme ajaran tasawuf Hamid ini banyak dipengaruhi
kondisi sosial Kesultanan Banjar yang sangat terbuka bagi siapapun yang ingin
“berinvestasi,” termasuk aliran agama di Banjar. Keterbukaan yang dikondisikan
inilah, yang memudahkan Syekh ‘Abd Al-Hamid mempelajari tulisan-tulisan para
penganut tasawuf falsafi tersebut.
Kesempatan
Syekh ‘Abd Al-Hamid mengembangkan ajaran wujudiyyah mulai mendapatkan sandungan
ketika tersiar sampai ke telinga Sultan Tamhid Allah dan Syekh Arsyad
Al-Banjari bahwa ajaran yang dibawanya dianggap meresahkan masyarakat
Dilaporkan, ‘Abd Al-Hamid mengajarkan orang-orang, bahwa “tidak ada wujud
kecuali Allah. Tidak ada ‘Abd Al-Hamid kecuali Allah; Dialah aku dan akulah
Dia. Dan sangat kebetulan, Syekh Muhammad Arsyad, sebagai penganut ajaran Syekh
b. ‘Abd Al-Karim Al-Sammani Al-Madani guru dari tokoh-tokoh tarekat Sammaniyyah
Nusantara memang tidak sepakat dengan Wujudiyyah-nya Syekh ‘Abd Al-Hamid dan
bahkan menganggapnya musyrik.
Akibat
dari pernikirannya inilah, Syekh ‘Abd Al-Hamid Abulung hidupnya di tangan para
algojo Kesultanan Banjar. la dihukum mati oleh keputusan Sultan Tamhid Allah,
atas Pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad yang waktu itu menjabat sebagai mufti
besar (Alfani Daud, 1997). Peristiwa ini, hingga kini belum bisa ketahui secara
pasti, kecuali hanya dugaan terjadi pada awak abad ke-18, dimana eksekusinya
dilakukan di Abulung, yang kini termasuk wilayah kampung Sungai Batang,
Martapura, Kalimantan Selatan. Makamnya sendiri sempat tidak diketahui oleh
masyarakat, seperti dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar, yang hingga kini
makamnya masih menjadi misteri.
Baru belakangan makamnya diketahui terletak kira-kira dua atau tiga kilometer di sebelah hilir Dalam Pagar -kampung yang dikenal sebagai tempat menuntut ilmu keagamaan di Kalimantan Selatan (A. Steenbrink, 1984), dalam kondisi tidak berpagar. Kuburan ini ditemukan atas petunjuk tuan guru (kiai) Haji Muhammad Nur, seorang ulama dan guru tarekat di Takisung (Kabupaten Tanah Laut), yang kemudian dibangunkan kubah-nya. Tuan guru Haji Muhammad Nur sendiri mengaku sebagai keturunan langsung dari Syekh ‘Abd Al-Hamid.
Baru belakangan makamnya diketahui terletak kira-kira dua atau tiga kilometer di sebelah hilir Dalam Pagar -kampung yang dikenal sebagai tempat menuntut ilmu keagamaan di Kalimantan Selatan (A. Steenbrink, 1984), dalam kondisi tidak berpagar. Kuburan ini ditemukan atas petunjuk tuan guru (kiai) Haji Muhammad Nur, seorang ulama dan guru tarekat di Takisung (Kabupaten Tanah Laut), yang kemudian dibangunkan kubah-nya. Tuan guru Haji Muhammad Nur sendiri mengaku sebagai keturunan langsung dari Syekh ‘Abd Al-Hamid.
Hingga
kini, makam Syekh’Abd Al-Hamid masih banyak dikunjungi umat Islam karena
dianggap memiliki karamat. Di antara karamat-nya yang nampak adalah makamnya,
yang berada di pinggir sungai, tak bisa dihanyutkan air. Padahal makam tersebut
sering tergerus air. Namun ketika makam itu telah turun, secara ajaib makam itu
naik lagi dan tanah pun menyangga makam itu lagi.
Pemikiran
Syekh ‘Abd Al-Hamid
Berbeda dengan Syekh Arsyad yang terkenal karena magnum opus-nya, Sabilal-Muhtadin -buku fiqh berbahasa Melayu- yang menentang doktrin wujudiyyah mulhid, Syekh ‘Abd Al-Hamid dinilai kering karya. Karena hingga kini, hanya ada beberapa fragmen yang menyiratkan pandangan Syekh ‘Abd Al-Hamid mengenai tasawuf yang bisa dilacak, dan itupun sangat terbatas. Di Banjar sendiri sekarang ada sebuah karya yang disinyalir kepunyaan Syekh ‘Abd Al-Hamid. Naskah itu berisi tentang pandangan tasawuf wujudiyyah mulhid, berupa pembahasan mengenai “Asal Kejadian Nur Muhammad”. Namun, tidak diketahui nama ulama Banjar yang menulis karya tersebut.
Berbeda dengan Syekh Arsyad yang terkenal karena magnum opus-nya, Sabilal-Muhtadin -buku fiqh berbahasa Melayu- yang menentang doktrin wujudiyyah mulhid, Syekh ‘Abd Al-Hamid dinilai kering karya. Karena hingga kini, hanya ada beberapa fragmen yang menyiratkan pandangan Syekh ‘Abd Al-Hamid mengenai tasawuf yang bisa dilacak, dan itupun sangat terbatas. Di Banjar sendiri sekarang ada sebuah karya yang disinyalir kepunyaan Syekh ‘Abd Al-Hamid. Naskah itu berisi tentang pandangan tasawuf wujudiyyah mulhid, berupa pembahasan mengenai “Asal Kejadian Nur Muhammad”. Namun, tidak diketahui nama ulama Banjar yang menulis karya tersebut.
Sebagai
penganut paham tasawuf falsafi, Syekh’Abd Al-Hamid menyindir bahwa ilmu
keagamaan yang diajarkan selama ini hanyalah kulit “syariat,” belum sampai
kepada isi “hakikat”. Selain itu salah satu ujarannya yang cukup dikenal adalah
berupa konsep: “Tiada maujud, melainkan hanya Dia, tiada wujud yang lainnya.
Tiada aku, melainkan Dia dan aku adalah Dia…”. (Zamzam, 1979). Doktrin tasawuf
ittibad dan hulul yang seringkali mengumandangkan pandangan tentang kesatuan
makhluk dan Tuhan tersebut tentu saja menantang otontas istana dan ulama secara
telak.
Pasalnya,
manakala istana membutuhkan agar rakyat mengakui otoritasnya yang tinggi dan
terhubung dengan ilahi, pandangan yang menyatakan bahwa yang ilahi justru
terdapat dalam segala makhluknya tersebut jelas merupakan pandangan yang
subversif. Oleh karena itu, ketika Syekh ‘Abd Al-Hamid mengajarkan ajaran ini
pada masyarakat umum jelas kalangan istana sangat khawatir. Atas dasar itulah
Sultan Tahmid Allah yang memerintah Kesultanan Banjar masa itu memanggil Syekh
Abd Al-Hamid ke istana.
Kemudian,
diutuslah para punggawa untuk menjemputnya. Ketika para punggawa telah sampai
di depan rumah Syekh ‘Abd Al-Hamid, mereka menyeru bahwa Sultan memang agar ia
segera pergi ke istana untuk menghadap. Di luar dugaan c ari rumah Syekh ‘Abd
Al-Hamid suara: “Di sini tidak ada ‘Abd Al-Hamid yang ada hanyalah Allah
(Tuhan).” Para punggawa yang tak pernah menghadapi hal ini akhirnya kembali ke
istana untuk melapor. Mereka lalu disuruh ke untuk menjemput (si) Allah/ ‘Abd
Al-Hamid itu. Ketika di depan rumah Syekh ‘Abd Al-Hamid, para pun menyeru bahwa
(si) Allah diminta datang ke istana. Dari dalam keluar seruan, “Allah tidak
bisa diperintah. Dan, di sini tidak ada Allah”.
5.
Masjid Agung Al Karomah
Masjid
Al Karomah terletak di Martapura, 40km dari Kota Banjarmasin.Kerajaan Banjar,
yang beribukota di Martapura memiliki Mesjid sebagai Pusat Da’wah Islam dan
menjadi saksi 12 sultan yang memerintah. Pada waktu itu Mesjid berfungsi
sebagai tempat peribadatan, dakwah Islamiyah, integrasi umat Islam dan markas
atau benteng pertahanan para pejuang dalam menantang Belanda.
Akibat
pembakaran Kampung Pasayangan dan Masjid Martapura, muncul keinginan membangun
Masjid yang lebih besar. Tahun 1280 Hijriyah atau 1863 Masehi, pembangunan
Masjid pun dimulai.
Menurut riwayatnya, Datuk Landak dipercaya untuk mencari kayu Ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito Kalimantan Tengah. Setelah tiang ulin berada di lokasi bangunan Masjid lalu disepakati.
Menurut riwayatnya, Datuk Landak dipercaya untuk mencari kayu Ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito Kalimantan Tengah. Setelah tiang ulin berada di lokasi bangunan Masjid lalu disepakati.
Dilihat
dari segi arsitekturnya, bentuk Masjid Agung Al Karomah Martapura mengikuti
Masjid Demak Buatan Sunan Kalijaga. Miniaturnya dibawa utusan Desa Dalam Pagar
dan ukurannya sangat rapi serta mudah disesuaikan dengan bangunan sebenarnya
sebab telah memakai skala.
Sampai
saat ini bentuk bangunan Masjid menurut KH Halilul Rahman, Sekretaris Umum di
kepengurusan Masjid sudah tiga kali rehab. Dengan mengikuti bentuk bangunan
modern dan Eropa, sekarang Masjid Agung Al Karomah Martapura terlihat lebih
megah.
Meski bergaya modern, empat tiang Ulin yang menjadi Saka Guru peninggalan bangunan pertama Masjid masih tegak di tengah. Tiang ini dikelilingi puluhan tiang beton yang menyebar di dalam Masjid.
Meski bergaya modern, empat tiang Ulin yang menjadi Saka Guru peninggalan bangunan pertama Masjid masih tegak di tengah. Tiang ini dikelilingi puluhan tiang beton yang menyebar di dalam Masjid.
Arsitektur
Masjid Agung Al Karomah Martapura yang menelan biaya Rp. 27 miliar pada rehab
terakhir sekitar tahun 2004, banyak mengadopsi bentuk Timur Tengah. Seperti
atap kubah bawang dan ornamen gaya Belanda.
Semula
atap Masjid berbentuk kerucut dengan konstruksi beratap tumpang, bergaya Masjid
tradisional Banjar. Setelah beberapa kali rehab akhirnya berubah menjadi bentuk
kubah.
Bila
arsitektur bangunan banyak berubah, namun mimbar tempat khatib berkhutbah yang
berumur lebih satu abad sampai sekarang berfungsi.
Mimbar
berukiran untaian kembang dan berbentuk panggung dilengkapi tangga sampai
sekarang masih berfungsi dan diarsiteki HM Musyafa.
Pola
ruang pada Masjid Agung Al Karomah juga mengadopsi pola ruang dari arsitektur
Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah
ini oleh Khatib Dayan. Karena mengalami perluasan arsitektur Masjid Agung Demak
hanya tersisa dari empat tiang ulin atau disebut juga tiang guru empat dari
bangunan lama.
Tiang
guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella atau ruang keramat. Ruang
cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang
berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.
Sejarahnya tiang guru empat menggunakan tali alias seradang yang ditarik beramai-ramai oleh Datuk Landak bersama masyarakat. Atas kodrat dan iradat Tuhan YME tiang Guru Empat didirikan. Masjid pertama kali dibangun berukuran 37,5 meter x 37,5 meter.
Sejarahnya tiang guru empat menggunakan tali alias seradang yang ditarik beramai-ramai oleh Datuk Landak bersama masyarakat. Atas kodrat dan iradat Tuhan YME tiang Guru Empat didirikan. Masjid pertama kali dibangun berukuran 37,5 meter x 37,5 meter.
Sebagai
pusat Kerajaan Banjar, Martapura tercatat menjadi saksi 12 sultan yang
memerintah. Pada waktu itu Mesjid berfungsi sebagai tempat peribadatan, dakwah
Islamiyah, integrasi umat Islam dan markas atau benteng pertahanan para pejuang
dalam menantang Belanda.
Sekarang
Mesjid tersebut bagian yang tak terpisahkan dari Kota Martapura, dengan
bangunan perpaduan arsitektur Islam Timur Tengah dan Modern Eropa sungguh
menawan dan megah apalagi dipandang pada malam hari di Jembatan Besi disamping
Pondok Pesantren Darussalam Martapuran Wuihhh bagus banget kebayang rasanya
berada di Jazirah Arab dekh. Mesjid ini juga beseberangan dengan Perkantoran
Sekretariat Daerah Kabupaten Banjar yang juga Kantor Bupati Banjar. Dengan
Syiar Islam yang begitu kental di Martapura tidaklah salah Kota Martapura
diberi label sebagai Serambi Mekkah.
Semoga
Martapura yang begitu terkenal seantero dunia dan melahirkan banyak Ulama Yang
Zuhud tetap menjadi Kota Santri yang santun dan religus dalam menjawab
tantangan globalisasi modern. Amin.
6.
Syekh Abdul Wahab Bugis
Menilik
dari namanya, Syekh Abdul Wahab Bugis –selanjutnya ditulis Abdul Wahab– orang
sudah bisa menduga bahwa sebenarnya ia bukanlah asli orang Banjar, karena
memang ia berasal dari Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan. Tepatnya, menurut Abu
Daudi (1996: 28), Abdul Wahab adalah seorang berdarah bangsawan, ia keturunan
seorang raja yang berasal dari daerah Sadenreng Pangkajene, dan dilahirkan di
sana. Sebagai seorang yang berdarah bangsawan ia diberi gelar Sadenring Bunga
Wariyah. Jadi nama lengkapnya adalah Abdul Wahab Bugis Sadenreng Bunga Wariyah.
Pangkajene,
daerah tempat kelahiran Abdul Wahab sekarang ini adalah adalah salah satu
kecamatan yang ada di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Sulawesi
Selatan, ibukotanya adalah Tomapoa. Terletak di sebelah atau bagian barat dari
propinsi Sulawesi Selatan. Di samping di kenal sebagai daerah pertanian yang
subur dengan tanah pegunungan dan dataran rendahnya, daerah ini dikenal pula
sebagai daerah perikanan. Salah satu peninggalan sejarah yang terkenal di
daerah ini adalah Arojong Pangkajene (Depag RI, 1996: 786).
Tidak
diketahui secara pasti kapan ia dilahirkan. Perkiraan ia dilahirkan antara
tahun 1725-1735, mengingat usianya yang lebih muda dibandingkan dengan Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari yang dilahirkan pada tahun 1710 M.
Kedatangan
Abdul Wahab ke Tanah Banjar seiring dengan kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
setelah menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah selama lebih kurang 35 tahun, yakni
pada tahun 1772 M. Pada saat itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah
Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang
Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun
1781-1801 secara resmi memerintah sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah.
Abdul
Wahab mengikuti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah dinikahkan dengan
Syarifah (Abu Daudi, 1996: 78). Walaupun kemudian diketahui bahwa Syarifah
sendiri telah dinikahkan dengan Usman dan telah mendapatkan satu orang anak,
bernama Muhammad As’ad. Tetapi setelah diteliti oleh Syekh Muhammad Arsyad
berdasarkan hitungan Ilmu Falak maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan Abdul
Wahab dengan Syarifah yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad dengan
kedudukan Wali Mujbir di Mekkah lebih terdahulu waktunya daripada pernikahan
Syarifah dengan Usman melalui Wali Hakim di Martapura. Karena itulah akhirnya
pernikahan Usman dan Syarifah difasakh atau dibatalkan, dan ditetapkan bahwa
Abdul Wahab-lah yang menjadi suami Syarifah.
Keputusan
ini kemudian ditaati oleh keduabelah pihak, dan menurut cerita Usman akhirnya
merantau ke daerah Palembang Sumatera Selatan, serta merintis terbentuknya
sebuah desa di sana yang diberi nama Martapura. Karena itu boleh jadi di
Indonesia, daerah yang bernama Martapura hanya ada dua, yakni Martapura di
Kalimantan Selatan atau Martapura di Palembang (Sumatera Selatan).
Hasil perkawinannya dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said Bugis dan melahirkan dua orang anak, yakni Abdul Gani dan Halimah, sedangkan Muhammad Yasin tidak memiliki keturunan. Abdul Gani anak Fatimah kemudian kawin dengan Saudah binti H. Muhammad As’ad dan juga melahirkan dua orang anak, namun keduanya meninggal dunia. Sementara, Halimahpun juga tidak memiliki keturunan. Abdul Ghani kemudian kawin lagi dengan seorang wanita dari Mukah Sarawak dan mendapatkan lagi dua orang anak, yakni Muhammad Sa’id dan Sa’diyah. Muhammad Said kemudian kawin dan mendapatkan dua orang anak, bernama Adnan dan Jannah. Sedangkan Sa’diyah memiliki anak bernama Sailis, yang menurut cerita kemudian tinggal di Sekadu, Pontianak.
Hasil perkawinannya dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said Bugis dan melahirkan dua orang anak, yakni Abdul Gani dan Halimah, sedangkan Muhammad Yasin tidak memiliki keturunan. Abdul Gani anak Fatimah kemudian kawin dengan Saudah binti H. Muhammad As’ad dan juga melahirkan dua orang anak, namun keduanya meninggal dunia. Sementara, Halimahpun juga tidak memiliki keturunan. Abdul Ghani kemudian kawin lagi dengan seorang wanita dari Mukah Sarawak dan mendapatkan lagi dua orang anak, yakni Muhammad Sa’id dan Sa’diyah. Muhammad Said kemudian kawin dan mendapatkan dua orang anak, bernama Adnan dan Jannah. Sedangkan Sa’diyah memiliki anak bernama Sailis, yang menurut cerita kemudian tinggal di Sekadu, Pontianak.
Tekad
Abdul Wahab yang bulat untuk memperjuangkan dakwah Islam dan mengamalkan ilmu
yang telah didapat ketika belajar di Mesir dan di Madinah, serta ikrar yang ia
ucapkan bersama teman-temannya tatkala ingin kembali ke tanah air, semakin
menguatkan keinginannya untuk mengabdikan ilmu dan baktinya di Tanah Banjar.
Pendidikan
dan Ketokohan
Abdul Wahab dikenal sebagai salah seorang tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh Abdus Samad al-Palimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang memiliki akhlak dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh empat serangkai lainnya, sebagaimana digambarkan oleh Abu Daudi mereka adalah empat serangkai yang seiring sejalan, yang mendapat pendidikan dari guru yang sama, yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai yang sama-sama pulang bersama serta mengemban tugas yang serupa. Ia adalah sahabat sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Jika Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mekkah, maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mesir. Sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (Abu Daudi, 1996: 28, 31). Syekh Sulaiman al-Kurdi ini kemudian juga menjadi guru dari Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdusshamad al-Palimbani. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke kota Madinah ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum.
Abdul Wahab dikenal sebagai salah seorang tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh Abdus Samad al-Palimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang memiliki akhlak dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh empat serangkai lainnya, sebagaimana digambarkan oleh Abu Daudi mereka adalah empat serangkai yang seiring sejalan, yang mendapat pendidikan dari guru yang sama, yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai yang sama-sama pulang bersama serta mengemban tugas yang serupa. Ia adalah sahabat sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Jika Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mekkah, maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mesir. Sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (Abu Daudi, 1996: 28, 31). Syekh Sulaiman al-Kurdi ini kemudian juga menjadi guru dari Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdusshamad al-Palimbani. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke kota Madinah ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum.
Di
kota Madinah inilah kemudian empat serangkai bertemu dan selanjutnya Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdus Samad al-Palimbani pun mengikuti majelis
pengajian Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi, yang kemudian memicu lahirnya
tulisan Syekh Muhammad Arsyad yang berjudul “Risalah Fatawa Sulaiman Kurdi”.
Risalah ini berupa naskah yang isinya menerangkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
kepada Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi tentang keadaan atau tindakan Sultan
Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman denda bagi mereka yang
meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja, serta berbagai masalah lainnya.
Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab, dan belum pernah diterbitkan, namun
naskah asli tulisan beliau sampai sekarang masih ada dan tetap tersimpan dengan
baik pada salah seorang zuriat beliau di desa Dalam Pagar Martapura.
Kemudian
atas anjuran dari Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi pula, Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani yang haus ilmu pengetahuan yang
semula berniat dan berencana untuk menambah ilmu ke Mesir tidak jadi berangkat
ke sana, sebab ilmu pengetahuan yang mereka miliki telah dianggap cukup, untuk
selanjutnya mereka disarankan segera pulang ke tanah air guna mengamalkan dan
mengembangkan ilmu yang telah didapat (Abu Daudi, 1996: 29).
Bandingkan
dengan pendapat Azyumardi Azra (1994: 253), yang menyatakan bahwa Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani meminta izin dan
restu kepada guru mereka Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri untuk menuntut ilmu
ke Mesir, namun oleh Syekh Athaillah mereka disarankan untuk pulang ke tanah
air mengamalkan ilmu yang telah didapat, sebab Syekh Athaillah percaya mereka
(empat serangkai) telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, sehingga
akhirnya mereka tidak jadi menuntut ilmu ke Mesir, tetapi tetap ke sana untuk
berkunjung. Sebagai tanda kunjungan akhirnya nama Syekh Abdurrahman al-Batawi
ditambah dengan al-Misri.
Menurut
riwayat, selama di kota Madinah, “empat serangkai” juga belajar ilmu tasawuf
kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan
Wali Quthub di Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan
ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.
Di
samping tercatat sebagai murid dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman
al-Madani (seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah) dan Syekh Muhammad
bin Sulaiman al-Kurdi, Abdul Wahab juga berguru kepada:
1. Abdul al-Mun’im al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M) yang terkenal sebagai ahli Ilmu Falak (Astronomi)
2. Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah dan penulis kamus biografi Silk al-Durar
3. Muhammad bin Ahmad al-Jauhari al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadits
4. Athaillah bin Ahmad al-Azhari, al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadits ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.
Dengan demikian jelas, bahwa guru-guru terkemuka Abdul Wahab di atas juga merupakan guru-guru dari tokoh empat serangkai yang lainnya.
1. Abdul al-Mun’im al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M) yang terkenal sebagai ahli Ilmu Falak (Astronomi)
2. Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah dan penulis kamus biografi Silk al-Durar
3. Muhammad bin Ahmad al-Jauhari al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadits
4. Athaillah bin Ahmad al-Azhari, al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadits ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.
Dengan demikian jelas, bahwa guru-guru terkemuka Abdul Wahab di atas juga merupakan guru-guru dari tokoh empat serangkai yang lainnya.
Perjuangan
Dakwah
Di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai motor penggerak utama kegiatan dakwah Islam di Tanah Banjar, Abdul Wahab juga memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan Islam di Tanah Banjar, mengingat kedudukan dan figur Abdul Wahab sebagai seorang ulama yang dikenal alim dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur Tengah.
Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.
Di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai motor penggerak utama kegiatan dakwah Islam di Tanah Banjar, Abdul Wahab juga memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan Islam di Tanah Banjar, mengingat kedudukan dan figur Abdul Wahab sebagai seorang ulama yang dikenal alim dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur Tengah.
Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.
Pertama,
mengajarkan agama Islam kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal
ini terlihat dari awal kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdul
Wahab Bugis di tanah Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M
yang disambut meriah oleh seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya
masyarakat biasa akan tetapi juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar.
Mengingat Syekh Muhammad Arsyad sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai
bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala mengetahui status Abdul Wahab
yang juga seorang bangsawan, sehingga oleh pihak kerajaan ia diberikan tempat
untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan mengajarkan
ilmu-ilmu agama kepada bubuhan kerajaan.
Kedua,
membantu Syekh Muhammad Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah
dihadiahkan oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat
tekad kuat dan ikrar setia yang disampaikan oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan
agama Islam di tanah air, sesuai dengan pesan guru mereka ketika masih di kota
Madinah, ia juga aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang
datang berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat
pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.
Ketiga,
di samping itu Abdul Wahab sebagai menantu dan sekaligus sahabat Syekh Muhammad
Arsyad yang juga memiliki pengetahuan agama yang luas dan alim, diduga sedikit
banyak beliau ikut menyumbangkan ilmu, pendapat, dan pandangannya –sumbang
saran– terhadap berbagai masalah-masalah keagamaan yang terjadi di Tanah
Banjar. Dengan kata lain Abdul Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah
agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari adanya istilah-istilah
tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, dan untuk
hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali melalui
pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan risalah atau kitab-kitab
yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, terutama Kitab Sabilal
Muhtadin.
Mengingat
kedudukan dan kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul Wahab terhadap sejumlah
karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat saja terjadi, mengingat
bahwa:
1. Abdul Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim, sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan pulang ke tanah air.
2. Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.
3. Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka.
1. Abdul Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim, sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan pulang ke tanah air.
2. Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.
3. Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka.
4.
Untuk mendidik dan membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad
Arsyad telah membuka daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal
sekaligus mandarasah yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan
menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik kader-kader dakwah.
Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat
pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera
Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa.
Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani (Thailand) disebut punduk. Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat Kalimantan.
Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani (Thailand) disebut punduk. Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat Kalimantan.
Tentu
di masa-masa sulit seperti ini beliau berdua dengan anak menantu dan sekaligus
sahabatnya, Abdul Wahab Bugis saling membantu, mengisi, dan membina kader-kader
dakwah yang banyak jumlahnya tersebut. Hasilnya, di samping berhasil menjadikan
anak cucu mereka –Fatimah dan Muhammad Yasin bin Syekh Abdul Wahab Bugis serta
Muhammad As’ad bin Usman (mufti pertama di kerajaan Banjar)– sebagai ulama,
membentuk kader-kader masyarakat yang kelak menjadi ulama terkemuka, mereka
berdua juga berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar yang memiliki kesadaran
untuk berpegang pada ajaran agama Islam melalu dakwah bil-lisan, bil-kitabah,
dan bil-hal, serta diteruskan kemudian oleh generasi-generasi dan kader-kader
yang telah dibina melalui upaya pengiriman juru dakwah ke berbagai daerah yang
masyarakatnya sangat memerlukan pembinaan agama, dari sini akhirnya dakwah
terus berkembang dan ajaran Islam semakin tersebar luas ke tengah-tengah
masyarakat Banjar.
Perkembangan dakwah Islam yang begitu menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.
Perkembangan dakwah Islam yang begitu menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.
Sultan
Banjar berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang
telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar
kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda
pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai
dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul
lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam
Mahkamah Syar’iyah, yakniMufti dan Qadli.
Mufti
adalah suatu lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan
masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang
oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari).
Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan
hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli
yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur
kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam
al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang
dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Dibentuk dan
diberlakukannya UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama
masyarakat menjadi lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna,
mencegah terjadinya persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam
menetapkan status hukum suatu perkara.
UUSA
ini antara lain berisikan, Pasal 1 sampai dengan pasal 2 berbicara tentang
dasar negara yakni Islam yang Ahlu Sunnah wal Jamaah, pasal 4 sampai dengan
pasal 22 menerangkan peraturan dalam peradilan berdasarkan mazhab Syafi’i,
pasal 23 sampai pasal 27 berbicara tentang hukum tanah garapan, penjualan
tanah, penggadaian, peminjaman dan penyewaan tanah yang harus dilakukan secara
tertulis, serangkap di tangan hakim dan serangkap lagi di tangan yang
berkepentingan. Gugatan terhadap tanah yang terjadi sebelum diberlakukan
undang-undang dapat diajukan sebelum duapuluh tahun semenjak undang-undang
ditetapkan, sedang tanah atau kebun yang terjual atau telah dibagi kepada ahli
waris, dapat digugat selama sepuluh tahun dari tahun penjualan atau pembagian
sampai undang-undang diberlakukan. Orang yang menang dalam perkara tidak boleh
mengambil sewa selama berada di tangan tergugat.
Di
samping alasan-alasan di atas yang mendasari aktivitas dan perjuangan dakwah
Abdul Wahab di Tanah Banjar, sebagai seorang ulama yang alim, ahli Ilmu Fikih
dan menguasai Ilmu Tasawuf, menurut asumsi penulis Abdul Wahab juga salah
seorang ulama penyebar tarekat Sammaniyah (Pembahasan tentang peranan Syekh
Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang pembawa dan penyebar tarekat Sammaniyah
yang bercorak Khalwatiyah, di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan saya
yang berjudul: “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”,
Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003). Sehingga dalam
konteks ini memungkinkan sekali jika ia menggunakan pendekatan dakwah sufistik
dalam aktivitas dakwahnya, di samping pendekatan dakwah syariah.
Dimaksud
dengan dakwah sufistik adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim
untuk mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah)
agar mereka mau mengikuti dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini
dilakukan dengan pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih
menekankan pada aspek batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek
lahiriyahnya.
Dengan
kata lain pendekatan dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan
materi-materi sufisme, yang di dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan
dengan akhlak, baik akhlak kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama
manusia, bahkan akhlak terhadap semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’,
ikhlas, tasamuh, kasih sayang terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada
akhirnya dalam diri mad’u timbul kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah
(taqarrub ilallah) sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih
sayang-Nya (Rosyidi, 2004: 46).
Apatah
lagi, pada masa itu tasawuf dan berbagai tarekat yang ada telah memainkan
peranan penting dalam perkembangan dan Islamisasi di Indonesia sejak abad XI
Masehi. Di mana berlangsungnya Islamisasi di Asia Tenggara (termasuk di
Indonesia), berbarengan dengan masa-masa merebaknya tasawuf abad pertengahan,
dan pertumbuhan tarekat-tarekat, antara lain ajaran Ibn al-‘Arabi (w. 1240 M),
‘Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166 M) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat
Qadiriyah, ‘Abd al-Qahir al-Suhrawardi (w. 1167 M), Najm al-Din al-Kubra (w.
1221 M) dengan tarekatnya Kubrawiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M)
dengan tarekatnya Syadziliyah, Baha’u al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389 M) dengan
tarekatnya Naqsabandiyah, ‘Abd Allah al-Syattar (w. 1428 M) dengan tarekatnya
Syattariyah, dan sebagainya (Martin, 1985: 188). Sehingga tasawuf merupakan
sesuatu yang sangat diminati, tak terkecuali pula halnya dengan masyarakat
Banjar yang telah memiliki bibit-bibit ketasawufan tersebut. Lebih dari itu,
Islam yang masuk yang berkembang di Indonesia sendiri menurut para ahli adalah
Islam yang bercorak tasawuf (Yunasir, 1987: 94).
Sayangnya,
perjuangan dakwah Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih
dahulu dan lebih muda setelah sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan
Islam bersama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yakni lebih kurang 10-15
tahunan.
Tidak
diketahui secara pasti memang kapan tahun meninggalnya, namun diperkirakan
antara tahun 1782-1790 M, dalam usian enampuluh tahunan. Tahun ini penulis
dasarkan pada catatan tahun pertama kali kedatangannya (1772 M) dan tahun
pemindahan makamnya. Di mana semula ia dikuburkan di pemakaman Bumi Kencana
Martapura, namun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian, bersamaan
dengan pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan Bajut (isteri dari Syekh Muhammad
Arsyad), dan Aisyah (anaknya Tuan Bajut), makamnya kemudian dipindahkan ke desa
Karangtangah (sekarang masuk wilayah desa Tungkaran Kecamatan Martapura) pada
pada hari Selasa, 2 Rabiul Awal 1208 H (1793 M). Karena itu bisa diperkirakan
bahwa, dihitung dari tahun pertama kedatangan hingga wafatnya, Abdul Wahab
telah bahu-membahu dan memperjuangkan dakwah Islam mendampingi Syekh Muhammad
Arsyad di tanah Banjar sekitar 10-15 tahun.
Ada
pula yang menyatakan bahwa, Abdul Wahab setelah lama berkiprah di Tanah dan
kerajaan Banjar serta sesudah kedua anaknya yakni Fatimah dan Muhammad Yasin
dewasa, ia kemudian pulang dan meninggal di kampung halamannya Pangkajene,
Sulawesi Selatan (Zamam, 1978: 13).
Namun, Berdasarkan catatan pemindahan makamnya yang sampai sekarang masih disimpan oleh Abu Daudi, dapat disimpulkan bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis sebenarnya tidak pulang ke daerah asalnya tetapi meninggal lebih muda dari Syekh Muhammad Arsyad. Karena itu data ini lebih kuat dari yang dikatakan oleh Zafri Zamzam bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis pulang ke daerah asal beliau (Pangkajene) dan meninggal di sana.
Demikianlah, Syekh Abdul Wahab Bugis telah membaktikan ilmu, waktu, dan hidupnya untuk memperjuangan dakwah Islam di Tanah Banjar. Seyogianya peranan, jasa dan perjuangannya itu menjadi cermin bagi generasi sekarang untuk meninggalkan amal shalih yang sama, sehingga berguna bagi generasi selanjutnya untuk membangun dan mengembangkan masyarakatnya.
Namun, Berdasarkan catatan pemindahan makamnya yang sampai sekarang masih disimpan oleh Abu Daudi, dapat disimpulkan bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis sebenarnya tidak pulang ke daerah asalnya tetapi meninggal lebih muda dari Syekh Muhammad Arsyad. Karena itu data ini lebih kuat dari yang dikatakan oleh Zafri Zamzam bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis pulang ke daerah asal beliau (Pangkajene) dan meninggal di sana.
Demikianlah, Syekh Abdul Wahab Bugis telah membaktikan ilmu, waktu, dan hidupnya untuk memperjuangan dakwah Islam di Tanah Banjar. Seyogianya peranan, jasa dan perjuangannya itu menjadi cermin bagi generasi sekarang untuk meninggalkan amal shalih yang sama, sehingga berguna bagi generasi selanjutnya untuk membangun dan mengembangkan masyarakatnya.
Berdasarkan
uraian di atas jelaslah bahwa Abdul Wahab Bugis, kawan seperguruan, sahabat,
dan sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga memiliki peran
dan jasa yang besar dalam mendakwahkan Islam di Bumi Kalimantan. Mulai dari
mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan pada keluarga atau bubuhan bangsawan di
kerajaan Banjar sampai membangun tanah lungguh desa Dalam Pagar menjadi locus
utama dakwah Islam, pendidikan, dan pengkaderan kader-kader yang kelak menjadi
pejuang dakwah diberbagai daerah yang menjadi sebarannya di Kalimantan.
Mengingat
ketokohan, akhlak, dan keilmuan yang dimilikinya yang memang diakui, serta
melalui kebersamaan sebagaimana yang telah diikrarkan, bahu-membahu, dan ikhlas
berjuang bersama Syekh Muhammad Arsyad, Abdul Wahab berhasil menempatkan posisi
dirinya sebagai ulama pejuang dalam rangka menjadikan Islam sebagai pola
kehidupan masyarakat Banjar, baik bidang kenegaraan maupun bidang sosial
kemasyarakatan.
WISATA
ALAM
1.
Kawasan Hutan di Mandiangin
Kawasan
ini terletak didaerah Mandiangin merupakan suatu komplek bangunan yaitu kantor
pusat pengelola, kantor pusat informasi sumber daya alam, plaza dan bumi
perkemahan. Di areal ini terdapat prasasti peresmian berdirinya TAHURA Sultan
Adam dan Puncak Penghijauan Nasional (PPN) ke 29 yang ditandatangani oleh
Presiden RI Bapak Soeharto.
Di lokasi ini pula pusat pengelolaan hutan pendidikan Fakultas Kehutanan UNLAM. Pada pengembangan selanjutnya kawasan ini dikembangkan menjadi arboretum, penangkaran satwa, taman safari, kolam renang, taman burung, bumi perkemahan dilengkapi dengan souvenir shop dan lain-lain.
Di lokasi ini pula pusat pengelolaan hutan pendidikan Fakultas Kehutanan UNLAM. Pada pengembangan selanjutnya kawasan ini dikembangkan menjadi arboretum, penangkaran satwa, taman safari, kolam renang, taman burung, bumi perkemahan dilengkapi dengan souvenir shop dan lain-lain.
2.
Pulau Pinus
Taman
Hutan Pinus letaknya sekitar sekitar 35 km dari Kota Banjarmasin. Rekreasi di
bawah Hutan Pinus yang rindang, sehingga sangat baik duduk di bawah pohon
sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan. Taman Hutan Pinus merupakan
penghijauan kota dan kebun pembinaan.
Taman
Hutan Raya Sultan Adam terletak di Desa Mandiangin Kecamatan Karang Intan,
sekitar 55 km dari Kota Banjarmasin yang mempunyai luas 106.400 ha. Selain itu terdapat
dua peninggalan jaman Belanda yang terletak 2 km dari Tahura. Di sana ada Gajah
Kampung, Rusa dan Buaya yang dilindungi. Pengunjung datang setiap hari libur
untuk menikmati alam yang indah dan sejuk, juga sebagai tempat penelitian dan
perkemahan bagi pelajar dan mahasiswa.
Pulau
Pinus yang terletak di tengah danau merupakan tempat-tempat ideal untuk
berekreasi keluarga sambil menikmati kedamaian alam. Air danau yang jernih dan
tenang sangatlah ideal pula untuk bertamasya air, berenang, maupun memancing.
3.
Pulau Bukit Batas
Pulau
seluas lebih kurang 1 Ha ini berdekatan letaknya dengan pulau pinus, dapat
ditempuh lebih kurang 30 menit dari pelabuhan Tiwingan. Seperti halnya dengan
pulau pinus, kawasan ini cocok untuk rekreasi santai dan olahraga air.
4.
Bumi Perkemahan Awang Bangkal
Bumi
perkemahan ini seluas lebih kurang 6 Ha terletak didaerah Awang Bangkal. Tidak
jauh dari jalan raya Banjarbaru – Pelabuhan Tiwingan, berada didekat sungai Tambang
Baru, sehingga mudah mendapatkan air. Bentang alam dari bukit disekelilingnya
serta tepian sungai Tambang Baru merupakan daya tarik tersendiri.
5.
Riam Tambela
Riam Tambela terletak 64 km dari Banjarmasin Ibukota Kalimantan Selatan tepatnya di Desa Tambela Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar (19 km dari Kota Banjarbaru).
Riam Tambela terletak 64 km dari Banjarmasin Ibukota Kalimantan Selatan tepatnya di Desa Tambela Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar (19 km dari Kota Banjarbaru).
Ternyata
Tambela lumayan indah pemandangannya, banyak pohon pinus berjejer indah
membentuk barisan teratur. Di sini Anda akan disajikan panorama alam yang
sangat indah sekali diselingi oleh gemuruh arus yang deras melewati bebatuan.
Selain sebagai tempat rekreasi, Tambela juga merupakan tempat pengembangan budi daya ikan sungai seperti ikan Nila dan ikan Mas yang terletak di belakang riam tambela ini.
Selain sebagai tempat rekreasi, Tambela juga merupakan tempat pengembangan budi daya ikan sungai seperti ikan Nila dan ikan Mas yang terletak di belakang riam tambela ini.
6.
Danau Riam Kanan / Waduk PLTA Ir. P.M. Noor
Danau
Riam Kanan merupakan bagian dari Taman Hutan Raya Sultan Adam yang berlokasi di
Desa Aranio, Kecamatan Aranio. Berjarak sekitar 65 km dari Kota Banjarmasin.
Berupa
Danau / Waduk seluas lebih kurang 8.000 Ha dengan fungsi utama sebagai
Pembangkit Listrik Tenaga Air satu-satunya di Propinsi Kalimantan Selatan.
Berperan penting sebagai pengatur tata air, mencegah erosi dan banjir, sebagai objek wisata alam, danau/waduk ini memiliki bentang alam yang menarik dengan panorama danau, lembah dan bukit disekelilingnya serta untuk kegiatan olahraga air.Pegunungan Meratus yang indah dan hijau mengelilingi Danau Riam Kanan.
Berperan penting sebagai pengatur tata air, mencegah erosi dan banjir, sebagai objek wisata alam, danau/waduk ini memiliki bentang alam yang menarik dengan panorama danau, lembah dan bukit disekelilingnya serta untuk kegiatan olahraga air.Pegunungan Meratus yang indah dan hijau mengelilingi Danau Riam Kanan.
7.
Air Terjun Bagugur
Air
terjun ini terletak di hulu sungai Tabatan. Dari desa Kalaan dapat ditempuh lebih
kurang 1 – 2 jam melalui jalan reboisasi dan areal bekas perladangan berpindah.
8.
Air Terjun Surian
Air
terjun ini terdiri dari air terjun Surian, air terjun Batu Kumbang, dan air
terjun Mandin Sawa yang sangat menunjang kegiatan Bina Cinta Alam. Dari sungai
Hanaru dapat dicapai lebih kurang 2 jam dengan menelusuri sungai Hanaru atau
lebih kurang 3 jam melalui jalan patroli yang sudah ada.
9.
Lembah Kahung
Lembah
Kahung yang merupakan bagian dari Pegunungan Meratus Kalsel selama ini masih
mengandung segudang misteri, lantaran jarang dijangkau manusia.
Untuk
menuju ke Lembah Kahung, ditempuh delapan jam dari ibukota Kabupaten Banjar,
Martapura.
Jarak Martapura dengan Banjarmasin ibukota Propinsi Kalsel, 40 KM waktu tempuh naik mobil sekitar satu jam, berarti dari Banjarmasin ke lokasi objek wisata petulangan itu sekitar sembilan jam.
Jarak Martapura dengan Banjarmasin ibukota Propinsi Kalsel, 40 KM waktu tempuh naik mobil sekitar satu jam, berarti dari Banjarmasin ke lokasi objek wisata petulangan itu sekitar sembilan jam.
Untuk
menuju ke sini, di perjalanan dengan kelotok (perahu bermotor) selama 1,5 jam
anda sudah disuguhi beningnya Bendungan Riam Kanan yang di kanan-kirinya
dipagari gunung-gunung (rentetan Pegunungan Meratus) yang menjulang biru maupun
pulau-pulau kecil nan bertebaran di sana-sini.
Hutan
alam tropisnya yang masih perawan dengan air terjunnya tujuh tingkat dan lebar
sekitar 8 meter plus udaranya yang sangat sejuk, amat menggoda siapa saja yang
haus akan sensasi menikmati alam terbuka.
Bahkan
warga sekitar itupun enggan berkunjung ke kawasan hutan lebat ini lantaran
adanya anggapan setiap hutan lebat mengandung nilai-nilai mistik.
Tetapi
yang membuat kawasan itu jarang terjamah adalah keberadaan hewan liar yang
disebut kalimatak atau pacat (lintah darat) yang siap menghisap darah manusia
yang berani menjajakan kaki ke kawasan itu.
Belum
lagi sering dijumpainya tumbuhan beracun yang disebut “jelatang” yang siap
membuat kulit manusia kesakitan dan kegatalan. Atau sakitnya tusukan onak dan
duri dari berbagai tanaman berduri dan rotan yang puluhan spicies hidup di
kawasan itu.
Suara gemercik air sungai yang jernih di hamparan dedaunan hijau hutan hujan tropis, Lembah Kahung Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi daya pikat orang mendatangi kawasan itu.
Suara gemercik air sungai yang jernih di hamparan dedaunan hijau hutan hujan tropis, Lembah Kahung Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi daya pikat orang mendatangi kawasan itu.
apalagi
kawasan ini dinilai masih tersimpan “sejuta” pesona flora dan fauna yang
menandakan kawasan alam ini masih perawan atau belum terjamah banyak tangan
jahil manusia.
Begitu
sampai di Balangian (kampung paling hulu di Riam Kanan) anda sudah disambut
dengan sebuah kampung yang penduduknya ramah-ramah, nuansa kesahajaanya amat
kentara dan ketulusannya yang nyata.
Setelah
melapor ke aparat desa, anda tinggal meminta jasa guide dari penduduk lokal
(Pak Udin, dll) untuk menuju ke lokasi sekaligus mem-bawakan barang bawaan
anda.
Dan,
dari sini petualangan dengan menjelajahi alam terbuka baru dimulai.
Dari
Balangian menuju air terjun Kahung, anda akan menemui tiga shelter atau
persinggahan. Ada tiga selter tersedia di sana, jarak tiap satu selter minimal
satu jam perjalanan. Sarana transportasi lembah Kahung selain rakit bambu juga
ada kerbau yang bisa ditunggang untuk menyebarangi sungai guna menjelajah
kawasan itu.
Selter
I sudah tampak dan dalam perjalanan rombongan harus melewati medan yang begitu
menantang nyali seperti menghadapi arus sungai yang begitu deras serta
batu-batuan alam pegungungan yang sangat licin. Sepanjang jalan terlihat satu
dua penduduk di sepanjang jalan menuju kawasan tersebut yang mencari nafkah
dengan mencari ikan dan berburu hewan di sekitar pemukiman mereka.
Satu
jam sudah berlalu, Nyanyian Orang Hutan, kepak sayap Burung Bainah (species
Burung Enggang, Red) menjadi musik merdu yang tak terkira. sementara mata kita
disuguhkan oleh hamparan sabana rindangnya hutan tropis dan suara derasnya air
sungai besar menemani iring-iringan panjang para pejalan kaki.
Selter
II sudah didepan mata, dan kini perjalanan semakin menantang nyali, medan pun
berganti, dari hamparan padang ilalang berganti memasuki kawasan hutan nan lebat,
pepohonan dengan diameter yang begitu besar, bau harum khas tanah dan nyanyian
suara alam saling bersahutan untuk mengiringi dan menghiasi langkah kaki
anggota yang semakin penat. Perjalanan juga diiringi dengan “ancaman” dari
hewan-hewan khas hutan seperti pacat dan salembada, yang menyapa dan
bercengkrama dengan sehingga membuat perjalanan semakin was-was tapi
menyenangkan.
Tepat
pukul 12.15 Wita rombongan tiba di Selter III, di kawasan ini lah yang paling
tepat untuk beristirahat untuk melepas kepenatan badan karena ditempat ini
bertemunya dua buah sungai dengan kecuraman yang lumayan tinggi. Walaupun
lokasi ini tentu saja tidak setinggi Madin Kahung namun panorama yang disajikan
sangat indah dan mempesona, akhirnya perjalanan kembali dilanjutkan sampai
menemui Selter IV.
Setelah
melewati Selter IV menuju Madin Kahung medannya lumayan berat dibandingkan
dengan medan sebelumnya. Panorama hutan semakin cantik oleh curahan air hujan
yang membasahi seluruh pohon, tanaman dan jalan setapak yang tersedia.
Menyentuh
dan melihat dahan pepohonan di puncaknya dapat memberikan kepuasan tersendiri
pada para anggota rombongan karena kesempatan seperti ini masih sangat langka
Lumut-lumut di batang pohon akan tumbuh di sisi yang menghadap timur karena
lumut memerlukan sinar matahari.Pengetahuan sederhana seperti ini dapat
menolong seseorang yang tersesat dan ingin mencari arah mata angin. Anggota
rombongan harus tertib dan hati-hati pada saat menyusuri jalan dan tidak
diperkenankan keluar jalur demi keamanan diri.
Kelebihan
Lembah Kahung adalah sebagai objek petualangan yang belakangan kian diminati
wisman, apalagi di sana terdapat ratusan dan mungkin ribuan spicies flora dan
fauna hutan hujan tropis atau hutan tropis basah.
Berdasarkan
catatan flora dan fauna yang terdapat di kawasan itu antara lain meranti
(Shorea spp.), ulin (Eusideroxylon zwageri), kahingai (Santiria tomentosa),
damar (Dipterocarpus spp.), pampahi (Ilexsimosa spp.), dan kuminjah laki
(Memecylon leavigatum).
Kemudian
ada pohon keruing (Dipterocarpus grandiflorus), mawai (Caethocarpus
grandiflorus), jambukan (Mesia spp.), kasai (Arthocarpus kemando), dan
lain-lain.
Sementara
spicies faunanya antara lain bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates
muelleri), lutung merah (Presbytis rubicunda), beruang madu (Helarctos
malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang merah (Muntiacus muntjak), kijang
mas (Muntiacus atherodes), pelanduk (Tragulus javanicus), dan landak (Hystrix
brachyura).
Kemudian
juga ada satwa musang air (Cynogale benetti), macan dahan (Neofelis nebulosa),
kuau/harui (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang
(Berenicornis comatus), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang bondol
(Haliastur indus), raja udang sungai (Alcedo atthis), raja udang hutan (Halycon
chloris), dan lain-lain.
Mengingat
Lembah Kahung bagian pula dari kawasan Pegunungan Meratus di Kalsel, maka
diperkirakan pula menyimpan pesona anggrek hutan Kalimantan.
Kawasan
anggrek yang cukup di kenal di Kalsel adalah hutan Pegunungan Meratus wilayah
yang membujur dari selatan ke utara meliputi Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru,
Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tabalong, Balangan dan Hulu Sungai
Tengah (HST).
Bukan
saja terdapat dua jenis anggrek yang dikenal luas hidup di daratan Kalimantan
yakni anggrek hitam (Coelogyne pandurata) dan anggrek tebu (Grammatophyllum
Speciosum), tetapi beberapa jenis anggrek lainnya.
Beberapa
jenis anggrek yang dikenal tumbuh di kawasan hutan Kalsel seperti jenis
Phalaenopsis bellina, Arachis breviscava, Paraphalaenopsis serpentilingua,
Macodes petola,jewel orchids, Tainia pausipolia, anggrek tanah, Phalaenopsis
cornucervi, Coelogyne asperata -Bulbophyllum beccari.
Anggrek
pandan Cymbidium finlaysonianum, Dorrotis pulcherrima, Chairani punya
Plocoglotis lowii, Tainia pauspolia, Destario Metusala, Ceologyne espezata,
Paphiopedilum lowii dan Paphiopedilum supardii (anggrek nanas) diperkirakan
menghiasi kawasan ini.
Yang
pasti di kawasan ini terdapat sejenis anggrek bulan khas setempat, yakni
anggrek bulan peleihari yang konon hanya hidup di kawasan hutan Kabupaten
Banjar dan Peleihari Kabupaten Tanah Laut.
WISATA
ADAT
Aruh
Adat Bawanang
Aruh
Adat Bawanang suku Dayak Meratus ini dilaksanakan setiap selesai panen padi
sebagai ungkapan terima kasih kepada pemberi rezeki. Dirayakan setiap bulan
Juli.
wisatanya disitu ada yg bayar untuk loket masuk tidak
BalasHapusHerbal Jantung Tanpa Efek Samping
BalasHapuskeep the spirit of pursuing a dream
BalasHapusobat herbal batuk
Hopefully the information I provide, can be useful for you
BalasHapusCara Ampuh Mengatasi Ejakulasi Dini
If you fail to manage time, then you will also fail to manage any
BalasHapusObat Herbal Batuk Kering Buat Anak yang Ampuh
Makanan Sehat Untuk Menjaga Kesehatan Jantung
BalasHapusThis information is helpful and inspiring. thank you
Thank you for this information will inspire readers
BalasHapusTips Cara Mencegah Ejakulasi Dini Dengan 5 Kebiasaan Ini
nice information, thanks for share
BalasHapusObat pelangsing paling aman dan legal
Solusi hilangkan lemak dipinggul
Obat herbal penurun berat badan
Obat pelangsing perut buncit terbaik
Obat pelangsing lengan atas
Obat diet tanpa membuat gemeteran
Obat diet aman untuk remaja
Cara cepat menurunkan berat badan tanpa olahraga
Obat penghilang lemak di betis secara tradisional
Tips diet ala artis korea
Obat atasi lengan bergelambir secara alami
Cara mengecilkan lingkaran pinggang karena lemak
Obat langsing yang aman untuk penderita maag
obat herbal penghilang lemak di pinggul
BalasHapusCara Menyembuhkan Flu Secara Alami
Tips mengenai cara menyembuhkan flu secara alami, aman, tanpa efek samping dan terbukti ampuh
menarik sekali informasinya, thanks for share benarkah jantung pisang dapat menyembuhkan penyakit diabetes
BalasHapusSuplemen Daya Tahan Tubuh Anak
BalasHapusObat Mata Minus Paling Bagus
Obat Batuk Berdarah Tanpa Efek Samping
thank for the post, succesfull and healthy always eyecaresoftgel.mkes.info/
BalasHapusHidup adalah Kesusahan yang harus diatasi oleh Obat Polip Lambung Tradisional Alami. Rahasia yang harus digali. Tragedi yang harus dialami. Kegembiraan yang harus dibagikan. Cinta yang harus dinikmati, dan Tugas yang harus dilaksanakan. Inilah hidup sebagai romantika yang harus dirangkul. Resiko yang harus diambil. Lagu yang harus dinyanyikan Obat Polip Lambung Tradisional Alami. Anugerah yang harus dipergunakan. Berkah yang harus dicapai., dan mimpi yang harus diwujudkan.
BalasHapusNice Site and Verry Good Obat Herbal Asam Urat
BalasHapusmakasih nih infonya Cara Mencegah Pneumonia Pada Anak
BalasHapusPenyebab dan Gejala Kista Rahang
makasih nih gan infonya
BalasHapusCiri Ciri Pneumonia Pada Anak Balita
Cara Mengobati Infeksi Radang Panggul